Search

Mengulas dan Menghindari Saham Gorengan yang Jerat Jiwasraya

Jakarta, CNN Indonesia -- Permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyedot perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, perseroan menunggak pembayaran klaim polis jatuh tempo kepada nasabah hingga Rp12,4 triliun untuk periode Oktober-Desember 2019.

Tunggakan tersebut disebabkan tekanan likuiditas yang dialami perusahaan asuransi jiwa pertama di Indonesia tersebut. Usut punya usut tekanan likuiditas ternyata terjadi karena manajemen Jiwasraya terdahulu menempatkan investasi pada portofolio saham dan reksa dana saham dengan underlying saham buruk.

Dalam perkembangannya, instrumen tersebut ditengarai sebagai saham gorengan.


Hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan manajemen Jiwasraya menaruh 22,4 persen dana investasi atau senilai Rp5,7 triliun di keranjang saham. "Untuk mengejar keuntungan tinggi, antara lain 95 persen dari dana kelolaan di saham ditempatkan pada pilihan saham-saham buruk. Cuma 5 persen saja yang ditaruh di saham dengan kinerja baik," ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin beberapa waktu lalu.

Tidak hanya itu, 98 persen dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk. Sisanya, hanya 2 persen yang dikelola oleh perusahaan manajer investasi dengan kinerja baik.

Imbasnya, ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun per September 2019. Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) 120 persen.

Pendiri LBP Institute Lucky Bayu Purnomo menuturkan saham gorengan merepresentasikan perusahaan yang belum memiliki fundamental kuat. Tak ayal, saham tersebut rentan mengalami penurunan sehingga merugikan investor yang menempatkan portofolio di saham tersebut.

"Kalau definisi bahasa umumnya, gorengan itu cepat panas tetapi cepat juga dinginnya," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Ia bilang ciri paling kentara dari saham gorengan, kenaikan tajam dan terjadi secara tiba-tiba. Apalagi, lanjut dia, jika saham tersebut memiliki riwayat cenderung stagnan dalam kurun tiga tahun terakhir.

Investor patut curiga, jika meroketnya laju saham tidak disertai aksi korporasi positif maupun kinerja baik dari perusahaan tercatat.

"Saham gorengan itu memberikan kejutan atau syok tiba-tiba kencang naik, terus turun, lalu tidak naik-naik lagi karena fundamentalnya tidak bagus," ucapnya.

Ia menuturkan kenaikan harga saham ditengarai disebabkan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan cuan dengan jalan pintas. Ketika harga saham naik mereka mengantongi untung, lantas mereka menjual kembali saham tersebut sehingga harganya merosot.

Karenanya, tindakan menggoreng saham ini juga kerap disebut sebagai insider trading.

Berkaitan dengan kasus Jiwasraya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan Jiwasraya tahun 2016 menemukan manajemen Jiwasraya menempatkan investasi pada beberapa saham dengan kinerja buruk.

Mengutip laporan BPK, Jiwasraya berinvestasi pada 47 saham senilai Rp1,31 triliun berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2015. Dari 47 saham tersebut, terdapat tiga saham dengan persentase mayoritas yakni 67,77 persen dari total investasi di saham atau setara Rp885,8 miliar.

[Gambas:Video CNN]
Ketiga saham tersebut meliputi PT Sugih Energy Tbk (SUGI), PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP). Sayangnya, BPK menyatakan penempatan investasi pada ketiga saham tersebut tidak didukung oleh informasi dan data akurat. Ironisnya, BPK menegaskan Jiwasraya tidak mempertimbangkan fundamental ketiga perusahaan yang merugi.

Jiwasraya memborong saham Sugih Energy di level Rp470 per saham. Saat ini, saham perusahaan bidang perdagangan, jasa, industri dan pertambangan itu terpantau mengalami suspensi. Sahamnya mandek di posisi Rp50 per saham. Dalam lima tahun terakhir, saham Sugih Energy menukik 88,01 persen.

Lebih lanjut, Jiwasraya membeli saham Trikomsel Oke di posisi Rp2.000 per saham. Senasib, saham perusahaan penyedia produk dan layanan telekomunikasi seluler itu terpantau mengalami suspensi. Sahamnya mandek di posisi Rp426 per saham. Dalam lima tahun terakhir, saham Trikomsel Oke merosot 73,12 persen.

Terakhir, Jiwasraya membeli saham Eureka Prima Jakarta seharga Rp620 per saham. Saham perusahaan bidang real estate dan pembangunan itu juga mengalami suspensi. Sahamnya mandek di posisi Rp114 per saham. Dalam lima tahun terakhir, saham Eureka Prima Jakarta melemah 73,36 persen.

BPK juga menyebut investasi Jiwasraya di instrumen reksa dana tak jauh berbeda. Jiwasraya membeli produk reksa dana dengan underlying saham kinerja buruk. Salah satu saham yang menjadi sorotan BPK adalah saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).

Saat ini, saham perusahaan perikanan, perdagangan, industri, dan perkebunan itu tak bergerak di posisi Rp50 per saham. Dalam lima tahun terakhir, sahamnya turun 58,33 persen.

Terkait laju saham, Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan regulator yang memiliki kewenangan mengawasi gerak saham. Sebagai wasit di pasar modal, bursa berhak mengeluarkan peringatan jika suatu saham terindikasi Unusual Market Activity (UMA).

UMA adalah aktivitas perdagangan atau pergerakan harga suatu efek yang tidak biasa pada suatu kurun waktu tertentu. Akan tetapi, bursa tak mengungkapkan berapa besar persentase pergerakan harga suatu saham sehingga dapat dinyatakan UMA. Bagi perusahaan, pengumuman UMA tidak serta merta menunjukkan pelanggaran.

Selain memberikan pengumuman UMA, bursa juga memberikan suspensi atau penghentian perdagangan sementara untuk saham-saham yang dinilai bergerak tidak wajar.

Suspensi juga dikeluarkan jika perusahaan bersangkutan tersangkut masalah berkepanjangan misalnya, terbelit utang, dan pelanggaran Good Corporate GOvernance (GCG) yang mengganggu operasional perusahaan.

Bursa juga dapat menghentikan perdagangan saham sementara, jika mendapati perusahaan yang melakukan aksi korporasi namun tidak diungkapkan kepada publik. Saham emiten itu baru bisa diperdagangkan kembali jika perusahaan melakukan paparan publik (public expose).

Senada, Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan pelaku pasar harus memahami fundamental perusahaan sebelum membeli saham. Fundamental perusahaan secara sederhana dapat dipelajari dari bisnis perusahaan. Ia menyarankan investor membeli saham perusahaan yang memiliki bisnis nyata di lingkungan dan memiliki prospek ke depannya.

Lebih lanjut, fundamental perusahaan dapat ditelaah melalui laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan secara rutin tiap kuartal melalui lama BEI. Dalam laporan keuangan itu, investor harus memperhatikan setidaknya tiga yaitu laba, pendapatan, dan pertumbuhan aset. Melalui angka tersebut, investor dapat menilai kinerja perusahaan.

"Setelah memahami laporan keuangan kita harus memahami valuasi saham perusahaan. Apakah wajar dibandingkan perusahaan sejenis lainnya maupun dibandingkan industri," paparnya.

Satu alat ukur yang biasa digunakan untuk melihat tinggi rendahnya valuasi saham adalah price earning ratio (PER). Perhitungan PER didapat dari harga saham saat ini dibagi dengan keuntungan tahunan per saham atau Earning Per Share (EPS). Semakin tinggi PER, maka semakin mahal valuasi saham (overvalue).

Sebaliknya semakin rendah PER, maka semakin murah valuasi saham (undervalue). Sebagai perbandingan tinggi rendahnya PER, pelaku pasar bisa melihat PER industri.


Dengan kejadian ini, ia mengimbau investor lebih berhati-hati dalam menempatkan investasi. Bagi investor, khususnya pemula yang bingung sekaligus was was dalam menaruh investasi, ia menyarankan untuk merujuk kepada saham-saham yang masuk dalam indeks saham resmi di bursa.

Beberapa contoh indeks saham tersebut adalah Indeks LQ45, Jakarta Islamic Index (JII), Indeks BISNIS-27, Indeks IDX30, Indeks KOMPAS100, dan lainnya. Saham-saham yang masuk dalam daftar tersebut merupakan saham yang memiliki fundamental sehat dan likuiditas baik.

(agt)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/34JbfCk
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mengulas dan Menghindari Saham Gorengan yang Jerat Jiwasraya"

Post a Comment

Powered by Blogger.