Aset tersebut tercatat di dalam neraca pemerintah sepanjang 2018. Mengikuti prinsip akuntansi, aset dicatat setara dengan kewajiban, seperti utang ditambah ekuitas atau modal yang dimiliki pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merinci, posisi aset tersebut terdiri atas. aset yang berasal dari kewajiban sebesar Rp4.917 triliun, dan aset yang berasal dari ekuitas Rp1.407 triliun.
Dengan kata lain, aset yang berasal dari utang mengambil porsi 77,74 persen dari total aset yang dimiliki pemerintah hingga akhir tahun lalu.
Sri Mulyani juga mengatakan kenaikan aset yang terbesar juga berasal dari utang, mengingat penarikan utang netto pemerintah mencapai Rp305,7 triliun.
Dalam hal ini, ia menjelaskan penarikan utang tahun lalu memang terkesan lebih besar, karena realisasi defisit APBN lebih besar dibanding target awal pemerintah.
Pada tahun lalu, defisit APBN terbilang 1,81 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) padahal target awalnya adalah 2,19 persen.
"Jadi dalam rangka mendukung belanja negara yang tinggi diperlukan sumber yang berasal dari pembiayaan. Peningkatan itu sebagian besar dari Surat Berharga Negara (SBN) yang tentu juga digunakan untuk kebutuhan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat," ujar Sri Mulyani di Sidang Paripurna DPR, Kamis (4/7).
Meski demikian, menurut dia, utang ini tetap dikelola dengan hati-hati. Sebab, rasio utang terhadap PDB masih di kisaran 30 persen, atau di bawah ambang batas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Terlebih, pemerintah mendapatkan predikat investment grade dari lembaga pemeringkat seperti Moody's, Fitch, JCRA, dan R&I.
"Bahkan, Moody's dan S&P menaikkan outlook rating-nya ke posisi stabil, berturut-turut pada bulan April 2018 dan bulan Mei 2019," tuturnya.
Sebaliknya, aset yang berasal dari ekuitas negara malah berkurang. Sepanjang 2018, ekuitas pemerintah ternyata turun Rp92,2 triliun dibanding tahun sebelumnya yakni Rp1.504 triliun.
Sri Mulyani mengatakan bahwa itu terjadi lantaran tidak semua belanja pemerintah berubah menjadi aset yang dapat divaluasi dan dikapitalisasi seperti bangunan dan infrastruktur. Menurut dia, belanja pemerintah juga dialokasikan bagi kepentingan lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Kemudian, minimnya catatan ekuitas pemerintah juga disebabkan karena banyak sekali pembentukan ekuitas di daerah yang menggunakan dana transfer pusat ke daerah. Hanya saja, laporan ekuitas itu tidak dikonsolidasikan ke dalam LKPP.
"Kalau baca neraca di pusat saja, mungkin bisa timbulkan kesalahpahaman. Sebab, seluruh belanja dilakukan di pusat tapi tidak tercatat atau terekam dalam tambahan aset pemerintah pusat. Terlebih, neraca pemerintah daerah belum dikonsolidasikan dengan pemerintah pusat," tutur dia.
[Gambas:Video CNN] (glh/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/325tx0s
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Aset Negara per 2018 Capai Rp6.300 Triliun, Mayoritas Utang"
Post a Comment