Panja tidak berlebihan, mengingat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tampak dag dig dug dan sekejap melabelkan skandal Jiwasraya bersifat gigantik dan sistemik, bila permasalahannya tak kunjung selesai.
Perlakuan DPR ini setali tiga uang dengan kasus Bank Century pada 2008 silam. Ketika itu, DPR turun tangan mencari akar masalah kalah kliring Bank Century hingga berujung pada penetapan bank gagal dan memperoleh dana talangan (bailout).
Yang membedakan ialah kacamata pemerintah dalam melihat kasus Jiwasraya. Bahkan, pemerintah bersikeras bahwa Jiwasraya tak berdampak sistemik. Menteri Keuangan Sri Mulyani menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang berbunyi lembaga jasa keuangan yang berpotensi memberi risiko sistemik adalah bank.
Padahal, dana talangan yang digelontorkan untuk Bank Century tidak sedikit, yakni Rp6,76 triliun. Dana talangan itu digunakan untuk menyehatkan kembali Bank Century yang porsi asetnya mencapai 0,05 persen dari total aset industri perbankan. Talangan juga dimaksudkan untuk mengerek rasio kucukupan modal (CAR) Bank Century yang minus hingga 3,52 persen.Bandingkan dengan Jiwasraya, yang menurut laporan keuangan per September 2019 membutuhkan dana hingga Rp32,89 triliun untuk mampu mengerek rasio solvabilitas (RBC) atau kemampuan membayar klaimnya hingga 120 persen.
Jika tak mampu mencapai rasio 120 persen, Jiwasraya dianggap 'sakit.' Dengan kata lain, Jiwasraya tidak akan mampu memenuhi kewajibannya kepada nasabah karena aset dan modalnya kurang dari total kewajiban perusahaan.
Ini artinya, dana yang dibutuhkan untuk penyehatan perusahaan jelas jauh lebih tinggi dibandingkan Bank Century yang tak sampai Rp10 triliun. Pun begitu, pemerintah tetap bersikeras Jiwasraya tak berdampak sistemik.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo bilang potensi sistemik memang hanya terjadi pada perbankan jika mengacu pada UU PPKSK. Namun demikian, bukan berarti industri sektor jasa keuangan lain tak memiliki risiko sistemik."Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tetap bisa mengajukan kajian terhadap satu perusahaan jika ada hal yang tidak normal. Anggota KSSK berarti bisa Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), LPS, dan Bank Indonesia (BI)," ungkap Irvan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/1).
Ia mengaku sepakat dengan BPK yang menilai skandal Jiwasraya berisiko sistemik. Masalahnya, apa yang terjadi pada BUMN itu mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap industri asuransi secara keseluruhan.
"Sejak awal tahun sudah terjadi penebusan polis besar-besaran oleh nasabah asuransi swasta yang merupakan dampak dari kasus Jiwasraya," terang Irvan.
Bahayanya, sambung dia, penebusan polis akan berdampak negatif pada keuangan perusahaan asuransi. Jika tak siap, maka akan terjadi masalah likuiditas di sejumlah perusahaan asuransi. "Berdampak ke industri keuangan secara keseluruhan juga kan?" imbuhnya.
Ia juga melihat ada potensi penarikan dana dari perbankan lantaran masyarakat khawatir dananya dialihkan ke produk asuransi secara tak transparan. Irvan menyebut hal ini sebagai risiko sistemik dari belakang atau backdoor systemic risk.
"Artinya nasabah bank menarik dananya karena terjadi asimetris informasi bahwa bank mengalihkan dana nasabah ke instrumen asuransi yang bukan tujuan dari nasabah menyimpan uang di bank dan tidak diungkapkan secara transparan," papar Irvan.
Kendati sepakat dengan BPK bahwa ada potensi sistemik dari skandal Jiwasraya, tetapi Irvan bilang bail out bukan satu-satunya jalan penyehatan perusahaan layaknya Bank Century. Jiwasraya memiliki beberapa pilihan opsi yang bisa menyelamatkan keuangan perusahaan.
"Jiwasraya ini kan polanya restrukturisasi dengan skema-skema penyehatan, kemudian akan dibantu juga dengan pembentukan holding. Artinya, ada langkah yang dilakukan oleh internal," tutur dia.
Inilah yang membedakan dengan Bank Century. Masalah yang menimpa bank tersebut diselesaikan dengan dana pemerintah, sedangkan di Jiwasraya ada upaya dari dalam perusahaan. "Bail out opsi terakhir. Jadi tidak mendesak," jelasnya.
Diketahui, terdapat sejumlah skema yang disiapkan oleh Kementerian BUMN dan manajemen Jiwasraya dalam memperbaiki kondisi keuangan perusahaan. Beberapa di antaranya, pembentukan holding asuransi, mengundang investor strategis untuk membeli saham anak usaha Jiwasraya yakni Jiwasraya Putra, dan efisiensi perusahaan.
Selain itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR sekaligus Ketua Panja Permasalahan Asuransi Jiwasraya Aria Bima mengusulkan opsi privatisasi untuk menyehatkan kembali Jiwasraya. Poin itu juga nantinya masuk dalam pembahasan panja.
Privatisasi adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum, dalam hal ini pemerintah, menjadi milik pribadi atau swasta. Artinya, pemerintah harus melepas 100 persen atau sebagian sahamnya di Jiwasraya.Merespons hal ini, Irvan bilang langkah privatisasi bisa saja dilakukan jika memang semua hal yang telah diupayakan tak juga berhasil membuat keuangan Jiwasraya kembali sehat.
Bergantung Kondisi Ekonomi
Di sisi lain, Ekonom BCA David Sumual mengungkapkan satu masalah di perusahaan bisa berdampak sistemik atau tidak juga bisa dilihat dari kondisi ekonomi domestik saat persoalan berlangsung. Ia menyatakan persoalan Bank Century sendiri terjadi saat krisis keuangan global pada 2008 lalu.
"Waktu kasus Bank Century ekonomi sedang volatile. Jadi, hati-hati juga kalau melihat sistemik, kalau memang aset perusahaan kecil tapi sektor finansial sedang rapuh dampaknya besar," ucap David.
Sebagai gambaran, sambung dia, aset perusahaan Bank Century sebenarnya terbilang kecil dari total aset perbankan di dalam negeri. Namun, masalah keuangan yang melanda Bank Century bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap perbankan di Indonesia."Kalau ada masalah yang mengganggu kepercayaan itu bisa menimbulkan sistemik," imbuh dia.
Masyarakat bisa melakukan penarikan dana besar-besaran dari rekening bank mereka. Hal itu jelas akan mempengaruhi kondisi ekonomi di dalam negeri di tengah krisis global yang terjadi saat itu. "Orang jadi mudah panik, menarik dana besar-besaran," ujar David.
Sementara, situasi ekonomi sekarang terbilang jauh lebih stabil ketimbang 2008 lalu. Dengan kata lain, potensi sistemik dari persoalan Jiwasraya bisa dibilang tak sebesar Bank Century.
"Kalau sekarang ekonomi lebih stabil, baik di global maupun domestik. Jadi kepanikan orang narik dana kecil. Lagipula, proses menarik dana dari kepemilikan polis dan bank beda, tidak semudah menarik dana di bank. Jadi situasinya tak sama," kata David.Maka itu, ia tak sepakat jika pemerintah memberikan dana talangan begitu saja untuk menyelesaikan kasus Jiwasraya. Terlebih, terdapat beberapa oknum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan Jiwasraya.
"Kalau bail out kan menggunakan dana masyarakat dari pembayaran pajak mereka, seharusnya jangan digunakan untuk menyelamatkan masalah yang ditimbulkan oleh satu atau dua oknum. Oknum itu dulu yang dikejar," ungkap David.
Saat ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) memang telah menangkap lima tersangka yang tersangkut kasus dugaan korupsi di Jiwasraya. Mereka adalah mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim, mantan Kepala Investasi dan Divisi Keuangan Jiwasraya Syahmirwan dan, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo.
Kemudian Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Mineral Heru Hidayat.Perusahaan mengalami masalah likuiditas karena nilai portofolio investasinya yang terus menurun. Alhasil, Jiwasraya memutuskan untuk menunda pembayaran klaim nasabah sebesar Rp802 miliar untuk produk saving plan pada Oktober 2018 lalu.
Berdasarkan catatan keuangan manajemen, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp10,24 triliun dan defisit sebesar Rp15,83 triliun pada 2018. Keuangannya semakin memburuk pada September 2019 dengan mencatat ekuitas negatif sebesar Rp23,92 triliun. (bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2TVqBlD
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Beda Sikap Pemerintah Tangani Jiwasraya dan Bank Century"
Post a Comment