Padahal, seperti diketahui perusahaan menanggung rugi dari rute-rute internasional. "Ke depan, Garuda akan fokus perbanyak rute internasional yang rugi lumayan besar. Jadi, kami akan buka network (jaringan) internasional seluas-luasnya," ujarnya, Jumat (27/12).
Saat ini, sambung Fuad, pihaknya tengah mencoba untuk bekerja sama dengan Korea sebagai langkah selanjutnya dari strategi tersebut.
"Contohnya sekarang kami sudah buka penerbangan untuk yang Beijing atau Shang Hai. Kami sekarang incar kerja sama dengan Korea juga," tutur dia.
Sayangnya, Fuad masih belum dapat menyebut detil terkait strategi pengembangan lebih lanjut, atau pun kerugian yang telah diperoleh dari penerbangan internasional.Hanya saja, ia memandang pihaknya selama ini terlalu mengandalkan penerbangan dari sisi domestik, sehingga muatan penumpang (passenger load) Garuda masih kalah dibandingkan kompetitor. Salah satunya adalah Singapore Airlines (SQ).
Diketahui, passengger load dan cargo load (muatan kargo) Garuda pada kuartal tiga 2019 hanya sebesar 73 persen. Angka tersebut masih lebih rendah dari capaian SQ yang sebesar 85 persen.
Terkait jumlah penumpang, Fuad juga mengaku bahwa terjadi penurunan pada kuartal III. Menurutnya hal tersebut dikarenakan terjadi penyesuaian tarif penumpang sebesar 23 persen pada kuartal ketiga.
"Untuk suplai dan demand (permintaan), mungkin karena terjadi kenaikan harga, jumlah penumpang Garuda secara keseluruhan turun 20,6 persen, Citilink turun 26,8 persen dari periode yang sama dari tahun sebelumnya," ungkapnya.Kendati demikian, Fuad menyebut pendapatan perusahaan masih tumbuh. Berdasarkan paparan, perseroan berhasil meningkatkan pendapatan sebesar 32 persen dengan hasil US$3,5 juta pada kuartal tiga 2019.
Secara total, jumlah profit yang dihasilkan Garuda pun juga naik sebesar 10 persen.
"Walau jumlah penumpang turun, tapi dari sisi revenue (pendapatan) kami bisa dapat lebih baik dari sebelumnya," imbuhnya.
Menurut Fuad, hal tersebut dikarenakan harga tarif pesawat yang selama ini menurutnya di bawah harga normal.Ia pun menyebut kenaikan tarif saat ini merupakan tarif yang wajar atau disebut Fuad sebagai 'the new normal' (patokan harga normal baru), yang dapat membuat perseroan sehat dan dapat berkembang.
"Kalau dilihat rata-rata per kilo meter, untuk penerbangan Garuda Indonesia itu rata-rata Rp2.500 rupiah per km. Sementara, ojek online itu Rp2.600, taxi Rp6.500.
Memang secara industri tarif penerbangan itu sudah sangat murah. Jadi, kalau kami lihat di periode-periode sebelumnya, (2016), dengan kami pasang harga 60 persen dari nilai TBA itu industrinya tidak akan sustain sama sekali," Jelasnya.
Menurut dia, hal tersebut yang menyebabkan persaingan industri penerbangan tidak sehat sedekade yang lalu. "Karena memang sejak 10 tahun lalu, lebih dari 15 airline tutup karena kompetisinya sudah enggak sehat," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN]
Selanjutnya, Fuad juga mengatakan optimalisasi bahan bakar pesawat juga dapat menjadi alternatif bagi pengembangan pendapatan Garuda.
Salah satunya, dengan meminimalisasi jumlah penerbangan yang ujungnya diharapkan juga akan menghemat penggunaan bahan bakar pesawat.
"Misalnya, dari satu rute kami terbang 10 kali, kami terbang 7 kali. Jadi kami rapatin ke 7 flight itu, jadi sisa 3 flight tidak terbang, sehingga di situ menghemat konsumsi bahan bakar. Jadi walaupun harga bahan bakar sudah mulai naik, kami masih tetap bisa efisiensi bahan bakar," terang dia.
Dengan strategi-strategi tersebut, Fuad optimistis Garuda dapat mencapai profit di kuartal keempat. "Kuartal empat profit. Karena memang kita sedang diaudit, ada enquirement, terutama soal transaksi Sriwijaya. Jadi saya belum bisa bilang berapa," pungkasnya.
(ara/bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Q163Wh
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Garuda Bidik Rute Internasional di Tengah Problem Internal"
Post a Comment