
Kendati demikian, tak semua orang tua memiliki persiapan khusus untuk membiayai pendidikan sang buah hati. Alhasil, beberapa di antaranya sering kelimpungan saat memasuki tahun ajaran baru.
Sinta (44), misalnya, mengaku tak memiliki tabungan khusus untuk pendidikan anak. Ia mengaku mempersiapkan uang tabungan untuk seluruh kebutuhan, baik yang bersifat darurat, kesehatan, maupun pendidikan. Tak hanya tabungan, ia juga mengaku berinvestasi pada aset properti.
"Dulu pernah ikut asuransi, tetapi karena suami dinas ke luar negeri kami tarik. Lalu, tidak saya teruskan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Saat ini, perempuan yang berprofesi sebagai PNS ini mengaku tengah mempersiapkan kebutuhan dana untuk kedua anaknya masuk ke bangku kuliah. Kebutuhan dana tersebut, menurut dia, akan menggunakan tabungan yang selama ini sudah disisihkannya selama ini untuk berbagai kebutuhan.
"Sekarang pemerintah sudah sangat membantu sampai SMA biaya sekolah free, sehingga itu menjadi kesempatan bagi kami untuk menabung persiapan masuk kuliah," katanya.
Berbeda dengan Shinta, Nur Aeni (45) sudah mempersiapkan biaya pendidikan untuk anaknya jauh-jauh hari melalu produk asuransi pendidikan. Pertimbangan Shinta sederhana, karena asuransi pendidikan tersebut memberikan fasilitas auto debit, sehingga ia bisa secara otomatis menyisihkan uang setiap bulannya untuk tabungan anak.
"Saya ambil asuransi pendidikan untuk jangka waktu 15 tahun-20 tahun. Tapi belum pernah saya ambil, karena biaya kuliah anak masih bisa tercover (dipenuhi) dari gaji," paparnya.
Selain asuransi pendidikan, perempuan yang juga berprofesi sebagai PNS ini juga mengaku memiliki beberapa instrumen investasi lain, seperti saham dan properti. Namun, investasi-investasi tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk biaya pendidikan anak.
"Kalau ada rezeki ya investasi begitu. Ada memang investasi tapi tidak khusus spesifik (untuk pendidikan)," jelasnya.
Perencana Keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto menilai orang tua perlu memiliki tabungan khusus pendidikan anak yang terpisah dari tabungan untuk kebutuhan lainnya. Idealnya, menurut dia, para orang tua menyisihkan sebesar 10 persen dari pendapatannya setiap bulan untuk tabungan pendidikan anak.
Ia pun menyarankan instrumen tabungan pendidikan anak hendaknya disesuaikan dengan jangka waktu kebutuhan dana pendidikan itu sendiri. Eko membaginya menjadi investasi dana pendidikan anak jangka pendek (1-3 tahun), menengah (3-5 tahun), dan panjang (lebih dari 5 tahun).
"Makin panjang jangka waktunya, maka harus cari produk investasi yang hasilnya lebih tinggi, karena pendidikan kenaikannya selalu lebih tinggi dari inflasi. Jadi mau tidak mau harus cari produk jangka panjang yang pertumbuhannya lebih tinggi dari inflasi," jelasnya.
Untuk investasi jangka pendek, ia menyarankan orang tua menempatkan dananya pada deposito dan reksa dana pasar uang. Pada investasi jangka menengah, para orang tua bisa memilih instrumen emas dan reksa dana pendapatan tetap. Sedangkan, untuk jangka panjang instrumenyang tepat adalah properti, reksa dana saham, maupun saham.
Selain instrumen di atas, ia juga menyarankan penempatan dana pendidikan pada layanan keuangan digital (financial technology/fintech) jenis peer to peer lending, lantaran menawarkan imbal hasil yang cukup baik. "Jadi, ketika anak umur tiga tahun, artinya tahun depan masuk play group maka itu investasi jangka pendek. Sejalan dengan itu, orang tua bisa menyiapkan dana untuk masuk SMP lewat investasi jangka menengah," paparnya.
Tak hanya berinvestasi, ia menyarankan orang tua sebaiknya melindungi investasinya dengan asuransi jiwa. Saat ini, menurut dia, banyak perusahaan asuransi yang juga telah memiliki produk yang mengawinkan fungsi proteksi dan investasi bernama unit link. Lewat produk unit link ini, orang tua bisa memiliki asuransi jiwa sekaligus investasi untuk dana pendidikan anak.
Beberapa perusahaan asuransi nasional telah menawarkan produk unit link tersebut. Sebut saja, PRUlink Edu Protection dan PRUlink Syariah Edu Protection dari Prudential, Asuransi Mandiri Sejahtera Cerdas dari AXA Mandiri, Manulife Education Protector dari Manulife, dan lain sebagainya. Setiap produk tersebut menawarkan premi, manfaat bulanan, usia perlindungan, dan kenaikan manfaat bulanan masing-masing.
"Saran saya punya investasi sendiri dan punya perlindungan sendiri tidak perlu digabungkan kalau digabungkan dia pasti butuh dana yang lebih besar," katanya.
Ia juga menyarankan orang tua untuk mulai sedini mungkin mempersiapkan dana pendidikan anak. Menurutnya, setiap pasangan bisa mulai menyisihkan tabungan pendidikan anak usai menikah, bahkan sebelum kelahiran sang buah hati.
Sementara Perencana Keuangan Zielts Consulting Ahmad Gozali menyarankan orang tua membuat rencana pendidikan anak terlebih dahulu sebelum memutuskan investasi untuk kebutuhan pendidikan. Dengan demikian, orang tua bisa menghitung kebutuhan dana yang diperlukan untuk menyekolahkan anaknya.
"Jadi berapa rupiah yang harus ditabung tentu tergantung anaknya mau disekolahkan di mana dengan biaya berapa. Jika target sudah dimiliki, baru bisa hitung-hitungan berapa sih yang perlu disisihkan untuk pendidikan anak per bulannya," jelas dia.
Ia memberikan ancang-ancang untuk menghitung biaya pendidikan yang diperlukan. Untuk masuk SD misalnya, bisa dihitung dua kali lipat dari biaya masuk SD saat ini. Lalu SMP empat kali lipat, SMA enam kali lipat, dan kuliah bisa dihitung delapan kali lipat dari nominal saat ini. Namun, hal ini juga tentunya bergantung pada usia sang anak.
"Kalau sudah punya perkiraan berapa biaya pendidikan di sekolah favorit tinggal dikalikan saja," jelasnya.
Ia juga menekankan tabungan biaya pendidikan anak sebagaiknya tak hanya disimpan di perbankan. Para orang tua, menurut dia, perlu memikirkan opsi lain, yakni berinvestasi pada sejumlah portofolio. Namun, ia menekankan perlu memilah portofolio yang tepat.
"Ketika investasi untuk pendidikan anak, sesuaikan dengan jadwal pendidikannya juga," imbuh Ahmad.
Sebagai contoh, jika orang tua membutuhkan dana enam tahun lagi untuk mendaftarkan anaknya di SD, mereka bisa memilih investasi dengan risiko menengah seperti reksa dana campuran. Dengan begitu, imbal hasil (return) yang didapat tak terlalu kecil, tapi terbilang cukup.
"Tapi ingat satu tahun sebelum dananya dipakai sudah harus disiapkan penarikan dananya, jangan mendadak pas kebetulan nilai reksa dana sedang turun," tegas dia.
Sementara, bila dana yang dibutuhkan lebih cepat, yakni tiga tahun maka orang tua bisa memilih investasi dengan risiko lebih rendah agar uang yang diinvestasikan tidak minus. Salah satu investasi yang bisa dipilih adalah reksa dana pendapatan tetap.
"Ini risiko rendah, dana bisa ditarik saat diperlukan," imbuh Ahmad.
Namun, jika dana yang diperlukan masih lama misalnya sembilan tahun mendatang, orang tua bisa melirik investasi yang lebih berisiko tinggi agar mendapatkan imbal hasil besar ketimbang portofolio dengan risiko yang rendah dan menengah.
"Masukkan dalam reksa dana saham. tarik dananya satu sampai dua tahun sebelumnya dan pindahkan ke reksa dana pasar uang," tuturnya.
Terkait siapa yang harus membayar uang sekolah anak, tambah Ahmad, orang tua harus berdiskusi sejak awal menikah. Bahkan, bisa saja pembicaraan dimulai sebelum orang tua sang anak menikah.
"Apakah nanti istri akan terus bekerja atau tidak, sejak awal menikah sudah harus dibicarakan. Saya tidak rekomendasi biaya pendidikan dari uang istri sepenuhnya, karena biasanya istri tidak selamanya bekerja, sedangkan pendidikan anak jangka panjang," pungkasnya. (agi)
from CNN Indonesia http://bit.ly/2WtMTsc
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cermat Berinvestasi untuk Biayai Pendidikan Anak"
Post a Comment