
Saya terbilang beruntung mengunjungi Flores tahun lalu. Saat itu, harga tiket pesawat masih masuk akal.
Saya mengantongi tiket maskapai full service Jakarta-Labuan Bajo Pulang Pergi (PP) dengan harga promo sekitar Rp3 juta. Namun, tanpa promo pun, harga tiket penerbangan full service PP dengan rute dan tanggal yang sama bisa diperoleh dengan merogoh kocek sekitar Rp4 juta, sementara tiket pesawat berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC) di kisaran Rp3 juta.
Kami berangkat pada Juli tahun lalu atau saat musim ramai (peak season) karena bertepatan dengan hari libur sekolah. Teman saya yang berangkat beberapa bulan sebelumnya lebih beruntung karena bisa mengantongi harga tiket pesawat LCC Jakarta-Labuan Bajo PP di bawah Rp2 juta. Itu pun sudah termasuk bagasi.
Berpergian ke wilayah timur Indonesia memang lebih mahal dibanding daerah lain karena belum terjamah banyak maskapai. Namun, harga tiket pesawat ke Pulau Sumba tahun lalu rasa-rasanya masih aman untuk kantong.
Pada Agustus 2018, saya pernah iseng mengecek harga tiket ke pulau yang pernah dikunjungi David Beckham sekeluarga itu. Nilainya berkisar Rp3,7 juta PP jika menggunakan maskapai full service meski dengan subkelas tiket terendah.
Kala itu saya memutuskan untuk menunda membeli tiketnya karena masih jauh dari waktu rencana mengunjungi pulau tersebut. Keputusan yang rupanya salah besar.
Harga tiket tak turun-turun sejak musim peak season berakhir tahun lalu. Kini, saya harus mengeluarkan minimal Rp4 juta untuk pulang pergi ke Sumba menggunakan pesawat LCC dan belum termasuk bagasi. Sementara menggunakan maskapai full service harus merogoh hingga di atas Rp5 juta PP.
Nilai kocek ini tentu menjadi pertimbangan. Apalagi untuk menjelajahi Pulau Sumba, biaya transportasi lain yang harus dikeluarkan pun tak sedikit mengingat terbatasnya sarana transportasi. Perkiraan anggaran menjadi jauh panggang dari api.
Rencana berlibur ke Pulau Sumba pun terpaksa pupus.
Di tengah kegagalan berlibur ke Sumba, saya iseng mengecek harga tiket pesawat ke sejumlah destinasi wisata di luar negeri.
Betapa kaget saya saat melihat harga tiket pesawat ke Phuket, Thailand. Harga tiket penerbangan yang ditawarkan untuk bulan Juli via salah satu agen perjalanan online mulai Rp600 ribu. Bahkan mulai Rp490 ribu untuk penerbangan Oktober.
Harga tiket paling murah ditawarkan Malindo Air yang notabene merupakan bagian dari Lion Air Group. Penawaran harga tiket tersebut juga tak dalam rangka program promo tertentu.
Sementara saat mengecek harga tiket ke Bali dengan Lion Air di waktu yang berbarengan, tiket paling murah berada di kisaran Rp900 ribu. Nilai ini sama saja entah untuk saat itu juga atau beberapa bulan ke depan.
Padahal, jarak penerbangan Jakarta-Phuket sebenarnya lebih jauh dibanding Jakarta-Bali. Kesal melihat harga tiket pesawat domestik, saya pun memutuskan untuk membeli tiket ke Phuket alih-alih ke Sumba.
Keputusan tersebut saya rasa juga banyak diambil oleh calon pelancong lainnya, terutama yang memiliki anggaran terbatas. Selain, mungkin memilih menunda sementara berpergian dengan pesawat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang penerbangan domestik pada Maret 2019 merosot 21,94 persen atau 1,7 juta orang dibandingkan Maret 2018 menjadi 6,03 juta orang. Penurunan penumpang paling banyak terjadi di Bandara Kualanamu, Medan.
Wajar, lantaran harga tiket Jakarta-Medan yang biasanya bisa di bawah Rp1 juta saat musim sepi (low season), kini paling murah sekitar Rp1,5 juta. Lucunya, tiket pesawat Jakarta-Medan via Kuala Lumpur ditawarkan dengan harga lebih murah yakni Rp1,1 juta.
Salah seorang teman juga baru-baru ini bercerita memilih membeli tiket mudik Jakarta-Medan via Singapura karena lebih murah Rp500 ribu.
Selain Bandara Kuala Namu, penurunan jumlah penumpang yang siginifikan juga terjadi di Bandara Hasanudin, Makassar dan Ngurah Rai, Bali. PT Angkasa Pura I yang antara lain mengelola Bandara Hasanudin dan Ngurah Rai baru-baru ini mengeluh 'kehilangan' 3,5 juta penumpang pada kuartal I 2019.
Padahal, BUMN operator bandara itu beberapa tahun terakhir gencar berinvestasi pada pembangunan bandara. Dana yang dikeluarkan mencapai puluhan triliun rupiah karena berasumsi jumlah penumpang penerbangan terus meningkat.
Sebagai negara berukuran besar dalam bentuk kepulauan, pesawat tentu memiliki peran penting dalam perekonomian. Apalagi, pemerintah juga tengah berupaya meningkatkan perekonomian daerah melalui sektor pariwisata.
Target yang dipasang untuk sektor pariwisata cukup ambisius tahun ini, yakni sebanyak 20 juta wisatawan atau naik 26,53 persen dari Rp15,8 juta wisatawan tahun lalu. Namun, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengeluhkan jumlah wisatawan domestik pada tiga bulan pertama tahun ini yang justru anjlok sekitar 30 persen karena tiket pesawat mahal.
Bukan hanya pemerintah yang mengeluh, pengusaha perhotelan dan biro perjalanan sudah mengeluhkan hal serupa jauh-jauh hari.
Masyarakat juga sudah membuat berbagai petisi meminta penurunan harga tiket pesawat, salah satunya sudah ditandatangani lebih dari satu juta orang.
Pemerintah juga sebenarnya sudah berkali-kali rapat membahas masalah harga tiket pesawat. Berbagai imbauan kepada maskapai sudah didengungkan, tak terkecuali dari Presiden Joko Widodo langsung.
Orang nomor satu di Indonesia itu bahkan sudah menurunkan harga avtur melalui instruksi kepada PT Pertamina pada Februari lalu. Hal tersebut dilakukan tak lama setelah maskapai mengeluh harga avtur membuat biaya operasional mereka tinggi dan mau tak mau dibebankan ke harga tiket.
Tak dipungkiri, harga tiket pesawat memang sempat turun meski terbatas pada rute-rute tertentu. Namun, hal tersebut juga hanya berlangsung sementara.
Hingga kini, tak jelas apa penyebab mendadak harga tiket pesawat yang meroket.
Jika dicermati, harga tiket yang tak turun-turun memang terjadi tak lama berselang pengambilalihan bisnis Sriwijaya Air Group oleh Garuda Indonesia Group pada November lalu. Kini praktis hanya ada dua pemain besar di industri penerbangan tanah air, Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.
Sementara pemain lainnya, Air Asia Group tak banyak menguasai rute penerbangan domestik. Tak hanya itu, baru-baru ini Air Asia juga mengeluh dicurangi dalam hal penjualan tiket di sejumlah agen perjalanan online.
Kini, agen-agen perjalanan online besar praktis hanya menjual tiket pesawat Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group untuk penerbangan domestik.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) kini tengah menyelidiki dugaan persekongkolan atau kartel dalam penetapan tarif pesawat domestik. Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berhak memberikan sanksi denda hingga Rp25 miliar kepada maskapai jika terbukti bersalah.
Terlepas dari hasil penyelidikan KPPU yang belum rampung, pemerintah mencium pasar duopoli (dikuasai dua grup besar) ini rentan merugikan konsumen. Tak ayal, pemerintah memutuskan untuk melakukan intervensi.
Maskapai memang tak melanggar aturan apa pun karena faktanya harga tiket pesawat yang dipatok tak melebih tarif batas atas yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Namun, hampir seluruh harga tiket pesawat domestik kini berada di batas atas tarif, tak peduli kapan waktu penerbangannya.
Oleh karena itu, intervensi bakal dilakukan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dengan menurunkan tarif batas atas harga tiket pesawat sebesar 12-16 persen. Penurunan tarif 12 persen berlaku untuk rute gemuk seperti wilayah Jawa, sedangkan penurunan tarif tertinggi sebesar 16 persen berlaku untuk rute wilayah Indonesia Timur, seperti Jayapura.
Keputusan ini diambilkan berdasarkan rapat di Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Senin (13/5). Alasannya, harga avtur yang menjadi salah satu komponen penyebab kenaikan harga tiket pesawat sudah turun.
Budi memperkirakan aturan penurunan batas atas ini diharapkan rampung dalam 2-3 hari ke depan.
Ya mari kita doakan saja bersama semoga maskapai patuh dan harga tiket pesawat benar-benar segera turun. (vws)
from CNN Indonesia http://bit.ly/2W0ShH4
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Geger Harga Tiket yang Meroket"
Post a Comment