Search

Jokowi dan Tenggat Waktu Dua Bulan Keluarkan RI dari Resesi

Jakarta, CNN Indonesia -- Jokowi mendapatkan peringatan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Peringatan berkaitan dengan ekonomi pada 200 mendatang.

Jokowi mengaku kedua lembaga tersebut mengatakan bahwa ekonomi 2020 akan lebih sulit dibanding tahun ini.

Dikhawatirkan, resesi akan menyelimuti ekonomi global tahun depan. Atas peringatan itulah, Jokowi kemudian mengumpulkan para menterinya.


Ia memerintahkan mereka segera mencari cara agar ancaman resesi tidak 'mampir' ke Indonesia. Maklum, saat kedua lembaga itu mengeluarkan peringatan, ekonomi Indonesia sedang tertekan.
Tekanan bisa dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi belakangan ini. Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi RI  pada kuartal II 2018  masih tumbuh 5,27 persen.

Namun, setelahnya pertumbuhan malah terus turun, berturut-turut, 5,17 persen, 5,18 persen, 5,07 persen, dan 5,05 persen. Pada kuartal ketiga kemarin, pertumbuhan ekonomi kembali melorot ke level 5,02 persen.

Penurunan kinerja pertumbuhan ekonomi tersebut telah menimbulkan dampak. Salah satunya ke penerimaan pajak.

Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak sampai November 2019 baru mencapai Rp1.136,17 triliun, setara  72,02 persen target APBN 2019 yang sebesar Rp1.577,56 triliun. Realisasi itu turun 0,04 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp1.136,66 triliun.

Dengan realisasi tersebut, pemerintah dalam sebulan ini perlu mengejar pajak Rp441 triliun agar target yang mereka telah tetapkan tercapai.

Tak ingin penurunan kinerja tersebut terus berlanjut dan berujung resesi, Jokowi memerintahkan menterinya untuk fokus menggenjot kinerja dua komponen pertumbuhan ekonomi, ekspor dan investasi.

Dua komponen pertumbuhan tersebut belakangan ini kinerjanya memang memble. Untuk ekspor, misalnya, pada kuartal III 2019 hanya tumbuh 0,02 persen dengan kontribusi ke PDB 18,75 persen .

Ekspor tersebut memang membaik dibanding kuartal sebelumnya. Pasalnya, pada waktu tersebut ekspor minus 1,98 persen. Tapi pertumbuhan ekspor tersebut masih lebih lamban jika dibandingkan dengan kuartal III 2018 yang 8,08 persen dan kuartal III 2017 yang masih bisa tumbuh 16,48 persen.

Kinerja kurang menggembirakan juga terjadi pada investasi. Data BPS, Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan indikator investasi tercatat hanya tumbuh 4,21 persen. Pertumbuhan tersebut melambat jauh jika dibandingkan dengan periode sama 2018 dan 2017 lalu yang masih bisa mencapai 6,96 persen dan 7,08 persen.

Jokowi mengatakan ada beberapa langkah yang perlu segera dilakukan agar kinerja dua komponen tersebut dalam menopang ekonomi bisa membaik. Berkaitan dengan ekspor adalah dengan menggenjot penyelesaian perjanjian dagang dengan sejumlah negara.

Perundingan yang ia harap bisa segera diselesaikan adalah perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara anggota ASEAN dengan lima negara mitra; China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru dan Australia RCEP. Perjanjian perdagangan bebas ini digadang akan menjadi salah satu kerja sama besar.

Sebanyak 16 negara yang tergabung dalam perjanjian memiliki populasi 3,4 miliar orang dengan total PDB mencapai US$59,5 triliun atau sekitar 39 persen PDB dunia. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan untuk menyelesaikan perundingan perjanjian dagang dengan Uni Eropa dan negara di kawasan Afrika.

Dia memberikan waktu kepada para menterinya untuk menyelesaikan perundingan perjanjian dagang tersebut pada 2020 mendatang agar ekspor bisa didorong. "Tolong segera diselesaikan akhir tahun depan," katanya.

Sementara itu berkaitan dengan investasi, Jokowi memerintahkan menterinya untuk segera menyelesaikan hambatan investasi yang berbentuk tumpang tindih aturan dan birokrasi yang berbelit. Menurutnya, pemerintah sudah memiliki program Omnibus Law.

"Segera selesaikan supaya semua bisa dikerjakan cepat," katanya.

Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi mengatakan tidak ada upaya jangka pendek yang bisa dilakukan Jokowi untuk mengatasi dampak perlambatan ekonomi global yang terjadi belakangan ini. Pasalnya, masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor fundamental yang salah satunya disebabkan oleh tumpang tindih aturan investasi dan kerja birokrasi.

Masalah fundamental tersebut tidak cukup diatasi dengan pendekatan moneter dan fiskal. Menurutnya, masalah perlu diatasi dengan pembenahan institusi dan itu semua butuh kebijakan jangka menengah dan panjang.

Dan untuk pembenahan kekuatan ekonomi dalam jangka panjang dan menengah sekarang ini, Fithra mengatakan pemerintahan Jokowi sudah berada dalam jalur yang benar. Langkah benar tersebut dilakukan Jokowi dengan membangun infrastruktur dan membenahi tumpang tindih aturan.

"Dengan melakukan Program Omnibus Law, pemerintah sudah pada jalur benar karena penghambat investasi kita memang di situ salah satunya," katanya.

Ia mengatakan Program Omnibus Law kemungkinan besar baru berdampak pada perbaikan investasi dan ekonomi dalam negeri paling cepat pada 2022 dan 2023 mendatang.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan Omnibus Law memang merupakan langkah besar yang dilakukan Jokowi untuk membenahi iklim investasi Indonesia dan menghindarkan Indonesia dari resesi.

Syaratnya, dalam Omnibus Law nanti mengatasi semua masalah penghambat investasi dari mulai, pertanahan, ketenagakerjaan, perpajakan, kepabeanan dan perdagangan. Selain itu,  Jokowi  juga tidak boleh terlambat.

Agar dampak Omnibus Law bisa dirasakan cepat ekonomi Indonesia, Ade mengatakan Jokowi bersama DPR harus menyelesaikan pembahasan aturan tersebut paling lambat Februari 2020 mendatang. Ia mengatakan batas waktu tersebut merupakan masa emas bagi Jokowi dan DPR untuk menyelesaikan aturan tersebut.

"Lewat dari waktu tersebut, atau ada yang menghambat, kita bisa terjerat resesi," katanya.
(agt)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/2F7mQAW
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jokowi dan Tenggat Waktu Dua Bulan Keluarkan RI dari Resesi"

Post a Comment

Powered by Blogger.