
Dalam pidato kemenangannya, Minggu (4/7) kemarin, Jokowi bilang akan melanjutkan lebih cepat dan menyambungkan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat.
Memang, pernyataan itu dilontarkannya bukan tanpa alasan. Tengoklah, banyak KEK dan kawasan sejenis yang dibangun, namun tak bertaji. Tak bernyawa.
Data Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengungkap sedikitnya 12 KEK telah dibangun, yakni Sei Mangkei, Tanjung Api-api, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Maloy Batuta Trans Kalimantan, Mandalika, Palu, Bitung, Morotai, Sorong, Arun Lhokseumawe, dan Galang Batang.
Dari 12 KEK tersebut, enam di antaranya telah beropeasi. Namun demikian, kehadirannya pun tak serta merta mendongkrak realisasi investasi di Indonesia.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi tahun lalu hanya tumbuh 4,3 persen, yaitu dari Rp692,8 triliun menjadi Rp721,3 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan sejauh ini memang sudah banyak KEK yang dibangun. Hanya saja kuantitasnya tak berbanding lurus dengan kualitas. Buktinya, dari 12 KEK yang ada saat ini, belum ada satu pun yang bisa menjadi kisah sukses.
Ia mencontohkan nasib KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara yang membutuhkan koneksi kereta api untuk mengangkut produk oleochemical dan turunannya yang diproduksinya. Hal ini dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dari pelabuhan. Tak heran, belum ada lagi investor yang mau masuk ke sana.
"Tentu saja infrastruktur menjadi salah satu faktor yang meningkatkan daya saing KEK. Kalau memang infrastruktur mumpuni, seharusnya ini bisa menampung investasi yang masuk ke dalamnya," jelas Yose kepada CNNIndonesia.com, Senin (15/7).
Sebetulnya, ia menilai infrastruktur dasar saja tidak cukup untuk menarik perhatian investor ke KEK. Menurut dia, dibutuhkan aspek pendukung lain yang tidak kalah pentingnya atau ia sebut sebagai soft infrastructure.
Menurut Yose, soft infrastructure bisa berupa regulasi yang lebih longgar, kemudahan arus masuk keluar barang, dan birokrasi investasi.
Ambil contoh, Shenzen yang di China sebagai contoh kisah sukses dari KEK. Dulu, Shenzen hanyalah sebuah desa nelayan di tepian Laut China Timur. Namun, sejak 1978, Kota Shenzen bermetamorfosis menjadi sebuah kota yang pesat, lantaran kemudahan regulasi di sisi fiskal hingga kebijakan tenaga kerja.
"China memang awalnya ekonomi terpusat, tapi 30 hingga 40 tahun lalu diperkenalkan lah sistem yang membuat Shenzen menjadi KEK yang berkembang dengan maju. Itu karena tidak hanya dukungan dari infrastruktur dasar, namun juga soft infrastructure," imbuh Yose.
[Gambas:Video CNN]
Makanya, ia memandang kelengkapan-kelengkapan ini sama pentingnya dengan infrastruktur dasar dan perlu menjadi perhatian Jokowi selama lima tahun ke depan.
Beberapa soft infrastructure yang diperlukan bagi KEK di Indonesia adalah perpendekan durasi bongkar muat di pelabauhan (dwelling time), perpanjangan Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik di dalam KEK yang bisa lebih dari 30 tahun, hingga masalah insentif fiskal.
Diketahui, pemerintah memang tengah merancang aturan insentif KEK baru melalui Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus.
Di dalam aturan tersebut, pemerintah tak hanya memberi insentif fiskal, namun juga non-fiskal, seperti kemudahan layanan kepabeanan, layanan imigrasi, hingga penggunaan Tenaga Kerja Asing.
"Tentu segala insentif ini baik bagi investasi. Kalau tidak dipicu, tentu tak ada bedanya investasi di KEK dan bukan KEK," terang dia.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo juga berpendapat serupa. Menurut dia, infrastruktur bukan satu-satunya faktor penentu maju atau tidaknya investasi di satu KEK. Ada faktor lain yang lebih penting yang mempengaruhi kinerja KEK, yakni tata kelolanya.
Penelitian LIPI tahun lalu, yang berfokus pada KEK pariwisata di Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Tanjung Kelayang, Kepulauan Bangka Belitung, mengungkapkan ternyata masalah administrasi memegang peranan penting dalam kemajuan KEK.
Saat ini, administrator KEK berada langsung di bawah Dewan KEK Nasional, di mana delegasi administrator di daerah dipegang langsung oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) di masing-masing daerah.
Hanya saja, PM-PTSP ini terindikasi sering mendapatkan perlawanan dari dinas-dinas lainnya, karena PM-PTSP sering berulah menjadi regulator yang memverifikasi segala perizinan di KEK, meski ia tidak memiliki otoritas mengenai hal tersebut. Hal ini tentu membuat perizinan investasi di KEK memakan waktu yang lama.
Bahkan, lokasi KEK yang berada di daerah ini kerap dijadikan alat politik saat pemilihan kepala daerah setempat tengah berlangsung.
"Jadi, memang model administrasi KEK pun tidak efektif. Sementara itu, pembangunan infrastruktur dasar juga sudah disiapkan," katanya.
Tak hanya itu, KEK juga memiliki masalah dari sisi akuisisi lahan. Dari penelitian di dua KEK pariwisata, ia menyebut bahwa dua destinasi pariwisata ini sudah terbentuk bahkan sebelum lokasi itu menjadi KEK. Sehingga, untuk mengubah kepemilikan lahan menjadi KEK, jangka waktunya cukup lama.
Oleh karenanya, ia berharap pemerintah mau mengulurkan tangan untuk membenahi hal tersebut. "Karena hampir 11 tahun kita semua mengenal KEK, tapi memang saat ini belum ada KEK yang bisa menjadi role model," tandasnya.
(bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2lw7CPr
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ambisi Jokowi Beri Nyawa KEK dengan Infrastruktur"
Post a Comment