"Di sini dingin ya pak," kata aku ke sang supir.
"Kira-kira di bawah tahun 2000, lebih dingin lagi," kata pria tersebut. "Air itu kayak beku."
Kami pun mulai berbincang macam-macam. Dari soal harga tanah hingga kembali lagi, hawa yang terus berubah hari ini.
Sepanjang jalan, pikiranku melompat-lompat menelusuri soal terakhir. Bisa jadi pernyataan si supir tak keliru. Indonesia memang dinilai lebih 'hangat' dibandingkan dengan suhu puluhan tahun lalu.
Laporan terbaru Climate Transparency G20 Brown to Green Report 2019, misalnya, menyatakan Indonesia menyumbang pemanasan global gara-gara energi kotor, penggunaan lahan hingga kebakaran hutan serta transportasi.
"Porsi batu bara meningkat 15,5 persen pada 2007 menjadi 19,9 persen di 2018," demikian laporan tersebut. "Indonesia memproduksi listriknya 61 persen dari batu bara."
Batu bara memang jadi primadona sejak 1980-an. Selain bisnis yang moncer, batu bara pun menjadi jejak tersendiri dalam ingatan. Kampung halamanku, Kalimantan Selatan, dikenal sebagai salah satu penghasil terbesar batu hitam tersebut. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proyek listrik berbasis energi kotor itu digaungkan melalui Fast Track Program (FTP) 10.000 MW sejak 2006.
Sementara di sektor hulu, pertambangan dinilai turut menyulut api konflik agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 1,28 juta hektare (ha) lahan yang menjadi area konflik di pelbagai sektor bisnis pada 2013. Dari 369 konflik agraria, pertambangan menyumbang 38 konflik atau sekitar 10 persen dari besarnya gesekan kala itu.
Organisasi tersebut juga menyatakan peningkatan jumlah konflik tanah sepanjang 2009-2013 mencapai tiga kali lipat, sementara luas tanah konflik melonjak 861 persen. Tak hanya itu, korban konflik pun meroket 1.744 persen menjadi 139.874 kepala keluarga.
"Prioritas tanah dan air dalam periode kekuasaan SBY memang tak diperuntukkan pada rakyat," kata Sekjen KPA Iwan Nurdin, kala itu. "Tetapi, untuk para pengusaha skala besar."
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Aku mengingat-ingat peristiwa 8 tahun lalu ketika SBY mengeluarkan Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Aturan itu kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 48 Tahun 2014 yang mengatur hal serupa dengan rinciannya.
Ada delapan program utama yang ingin dikembangkan pemerintahan SBY, dan bakal diterapkan pada 22 kegiatan ekonomi. Delapan hal itu terdiri dari pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika serta pengembangan kawasan strategis.
Khusus tambang, komoditas yang diprioritaskan adalah minyak bumi, batu bara, nikel, tembaga hingga bauksit.
'Tulang Punggung' SBY
Perpres itu menyatakan Indonesia memiliki cadangan batu bara sangat besar untuk energi pada industri andalan. Ini macam tekstil, perkapalan, transportasi hingga makanan-minuman.
SBY dalam lampiran aturan itu juga memaparkan sumber daya alam akan menjadi tulang punggung percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Walaupun di sisi lain, juga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan berkurangnya cadangan sumber daya alam untuk generasi mendatang.
"22 kegiatan ekonomi perlu memperhatikan daya dukung lingkungan," demikian SBY. "Penerapan teknologi hijau tak hanya meningkatkan efisiensi, namun juga berdampak pada peningkatan kesehatan."
Tetapi saat kekuasaan presiden tersebut hampir berakhir, laporan Dewan Energi Nasional (DEN) pada 2014 menyatakan energi kotor masih saja dominan.
Produksi listrik PLTU sepanjang 2003-2013 naik 6,9 persen per tahun, dengan komposisi PLTU batu bara sebesar 8,9 persen. Lembaga itu juga mencatat PLTU memiliki pangsa pasar terbesar, yakni 46,7 persen dibandingkan dengan energi terbarukan, yaitu 9,9 persen untuk PLTA serta 2,6 persen PLT Panas Bumi.
KPA pun melihat konflik tanah berkepanjangan sepanjang dua periode SBY berkuasa, yakni 2004-2009 dan 2009-2014. "SBY mewariskan wajah buruk kondisi agraria," kata dia.
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono).
|
Proyek 'Utang' Jokowi
Hari ini, Presiden Joko Widodo justru memperbesar proyek setrum 'warisan' SBY, menjadi 35.000 MW dari sebelumnya 10.000 MW. Isinya, sebagian besar berbasis batu bara.
"Ini bukan proyek yang ambisius," kata Jokowi pada Mei 2015 di Yogyakarta. "Ini utang kita kepada rakyat yang harus dipenuhi, karena banyak yang belum menikmati listrik."
"Sudah tak ada tempat lagi untuk energi kotor di masa depan," kritik ahli lingkungan Emil Salim dalam satu diskusi, November lalu. "Kita perlu memikirkan generasi Indonesia tahun 2045."
Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan proyek setrum mega ala Jokowi bakal molor ke 2028, dan tak bisa selesai akhir tahun ini. Hal itu, disebabkan oleh faktor tingkat pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik. Diketahui, mayoritas proyek sekitar 20.000 MW sendiri masih dalam fase konstruksi.
Walaupun demikian, Jokowi pernah mengkritik proyek mangkrak FTP ala SBY pada November 2016 lalu.
"Kalau memang ini tidak bisa diteruskan, ya sudah, berarti saya bawa ke KPK," kata Jokowi. "Karena ini menyangkut uang yang bukan kecil, gede sekali."
Puluhan pembangkit yang dimaksud di antaranya adalah PLTU Parit Baru berkapasitas 2x50 MW; PLTU Bengkayang dengan kapasitas 2x27,5 MW; PLTU Gorontalo berkapasitas 2x25 MW; PLTU Bima berkapasitas 2x10 MW; dan PLTU Waai Ambon dengan besaran 2x10 MW.
Kapal tongkang batu bara yang terlihat dari Pantai Citepus, Sukabumi. (CNN Indonesia/Anugerah Perkasa).
|
Aku kira, pernyataan Jokowi soal uang besar tak keliru. Pembangunan PLTU masih menjadi 'mangsa empuk' lembaga keuangan global hingga hari ini.
Laporan Banktrack dan Auriga Nusantara terbaru menemukan data bahwa Indonesia menjadi negara terbesar menerima pembiayaan PLTU sepanjang 2017-2019. Kucuran uang itu tak hanya dari AS dan Eropa, namun juga China serta Jepang. Dari dana US$69 miliar atau Rp966 triliun ke Asia Tenggara, sekitar US$47 miliar atau Rp658 triliun digelontorkan untuk Indonesia.
Luas lahan yang berkonflik di sektor pertambangan pun meroket. Pada 2014, KPA mencatat luas area yang menjadi seteru mencapai 6.953 ha, kemudian melonjak menjadi 49.692 ha pada akhir 2018.
"Pendanaan ke Indonesia paling besar," kata Iqbal Damanik, Peneliti Auriga Nusantara. "Itu fakta Indonesia masih sangat bergantung energi fosil, khususnya batu bara."
"Sejak kepemimpinan Jokowi," kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam Catatan Akhir Tahun 2018, "Sedikitnya 41 orang tewas di berbagai wilayah konflik agraria."
Langit mulai menggeliat hampir petang di Pantai Citepus, tak jauh dari Pelabuhan Ratu.
Anak-anak bermain di hamparan pasir dan debur ombak. Muda-mudi menikmati semilir angin. Aku pun sempat menyesap suasana itu, namun menghilang tak lama kemudian. Kapal-kapal tongkang yang mengangkut tumpukan batu bara tiba-tiba melintas di pelupuk mata. Perlahan menyeberangi lautan.
Pikiranku berkecamuk. Ini adalah senja pertama di awal Desember, bersamamu. (bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2szhaN8
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Warisan' Tanah dan Setrum Mega ala SBY di Tangan Jokowi"
Post a Comment