Search

Dilema Turunkan Batas Nilai Impor Bebas Bea Masuk

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah tengah mengkaji kembali aturan pembebasan bea masuk untuk barang kiriman. Kali ini, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengisyaratkan impor barang kurang dari US$75 juga akan dikenakan tarif ke depan.

Berdasarkan paparannya, hal tersebut bertujuan untuk melindungi tanah air dari gempuran barang impor.

Revisi kebijakan tarif impor bukan hal baru. Tahun lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan terkait batasan pemberian fasilitas bebas bea masuk dan pajak impor untuk barang kiriman sebagai bagian dari upaya mengurangi defisit neraca perdagangan.


Ketentuan mengenai impor barang kiriman diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman. Dalam pasal 13 ayat 1a disebutkan bahwa diberlakukan pembebasan bea masuk terhadap produk impor yang tidak melebihi FOB US$75 dari sebelumnya US$100. Artinya, selama nilai barang yang diimpor berada di bawah angka tersebut, barang akan bebas dari tarif bea masuk.

"Saat ini kan lebih dari US$75 dolar dikenakan tarif, sedangkan ke bawah tidak. Nah, mungkin kami akan revisi karena aturan itu mengganggu produk dalam negeri. Jadi, enggak US$75 lagi, tapi di bawah itu," ungkap Agus di Jakarta, Senin (16/12).

Tak hanya itu, untuk melindungi produk dalam negeri dan menekan angka barang impor, Agus juga akan berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait dalam merevisi kebijakan baru yang membatasi barang impor dari transaksi melalui e-commerce. Pasalnya, barang yang diimpor lewat e-commerce merupakan barang konsumsi yang bebas bea masuk.

"Sekarang ini e-commerce banyak impor. Nah, kita tingkatkan produk domestik di e-commerce, kita galakkan, karena di luar ada demand (permintaan) untuk produk Indonesia," ujarnya.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menanggapi negatif atas munculnya peraturan tersebut. Ia menilai pemangkasan batas nilai barang impor yang mendapatkan fasilitas bea masuk berpotensi merugikan negara.

Pasalnya, Yose mengkhawatirkan dampak negatif yang berasal dari dari respons negara-negara pengimpor barang. Ia mengingatkan pengenaan tarif kepada konsumen dalam negeri dapat menekan permintaan konsumen terhadap barang impor.

Kondisi itu akan membebani pihak negara pengimpor yang ujung-ujungnya dapat menggugat Indonesia kepada WTO. Terlebih, peraturan batasan bebas bea masuk dinilainya sebagai aturan yang sudah umum dan dilaksanakan oleh banyak negara.

"Itukan sudah ada ketentuan bahwa memang ada batas maksimum untuk bea barang. Ada nilai barang impor yang tidak dikenakan bea masuk, dan di mana-mana ada aturan seperti itu. Jadinya kalau kita kenakan tarif bagi di bawah batasan, nanti negara-negara lain juga akan melakukan hal yang sama untuk kita," kata Yose.

Kesibukan penyedia layanan e-commerce. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan).
Menurut Yose, upaya menahan gempuran impor dengan mengenakan aturan pengenaan bea terhadap e-commerce dinilai tidak begitu efektif. Sebab, Yose mengungkap dari seluruh transaksi yang dilakukan e-commerce, hanya sekitar 8 persen yang datangnya dari luar negeri.

"Itu artinya kalau sekarang ini transaksi e-commerce sekitar Rp20 triliun yang datang dari luar negeri. Tapi sementara kita juga punya potensi untuk ekspor untuk itu. Yang sekarang ini kalau kita kenakan, nanti negara lain juga akan trade aliansi ke kita. Tak menutup trade aliansinya itu cuma ke produk e-commerce, tetapi juga nanti ke produk yang lain," jelasnya.

Karenanya, sambung dia, pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam mengenakan kebijakan, dan merubah stigma penurunan impor secara membabi buta. Terlebih, saat ini perekonomian dunia telah memasuki era digital yang cenderung tak mengenal batasan-batasan dalam berdagang.

"Dengan ekonomi digital itu yang namanya 'tapal batas' itu makin berkurang fungsinya. Jadi pemikiran yang sekarang ini bahwa 'kita harus menghentikan import', di dalam digital ekonomi itu enggak bisa seperti itu," tuturnya.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati juga menilai upaya pemerintah dalam menurunkan angka impor dapat berbalik menjadi dampak negatif terhadap pemerintah sendiri.

"Kalau kita melarang suatu barang masuk ke kita, ya kita nanti dilarang juga barang kita yang keluar. Sementara kita berada di era globalisasi, kita sudah meratifikasi free trade," ungkap Enny.

Enny kemudian mengusulkan salah satu cara untuk menanggulangi risiko tersebut. Salah satunya, pemerintah dapat melakukan upaya-upaya non tariff untuk menurunkan angka impor, seperti kebijakan NPM (Node Package Manager).

"Kita bisa menggunakan instrumen-instrumen misalnya penggunaan non-tariff. Di non tariff, misalnya ini ekstremnya, barang yang masuk di Indonesia, itu harus dibungkus dengan warna putih. Itu boleh. Itu namanya NPM. Jadi yang sifatnya lebih ke pengendalian barang-barang import," ujar Enny.

Cara tersebut dinilai Enny lebih aman, dibandingkan memasang kebijakan tarif yang berpotensi memunculkan gugatan-gugatan dari pihak pengimpor barang. Pasalnya, Indonesia sendiri telah menandatangai perjanjian FTA, sehingga barang-barang yang tela terdaftar seharusnya tidak diperbolehkan untuk dikenakan tariff.

"Kita itu sebaiknya jangan bikin aturan yang mudah digugat. Mustinya aturan-aturan itu ya, dibikin se-smart mungkin. Saya tidak yakin kalau bentuknya tariff, karena kita kan sudah menandatangani perjanjian FTA," imbuhnya.

Terkait persoalan e-commerce, Enny menganjurkan pemerintah untuk terlebih dahulu membuat payung-payung hukum yang kuat dalam mengatur transaksi digital sebelum memberlakukan aturan pengenaan tarif. Ia menyebut sampai saat ini, pemerintah belum mampu menyusun payung hukum yang mengatur transaksi digital.

"Karena belum ada aturan hukum yang jela sehingga yang juga diimplementasinya, banyak yang loop hole. Loop hole itu yang dimanfaatkan dengan membanjirnya produk-produk impor melalui transaksi berbasis digital atau online," jelasnya.

Sementara itu, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean menyebut aturan batas minimal pengenaan bea masuk merupakan solusi 'jangka pendek' dari permasalahan jangka panjang yang dimiliki Indonesia yang semestinya lebih dulu diselesaikan.

"Permasalahan jangka panjang ini adalah lemahnya kemampuan industri dalam negeri dan distorsi harga dan tata niaga perdagangan dalam negeri yang telah lama ada dan tak kunjung bisa diselesaikan,"jelasnya.

Tak ayal, Adrian menilai akan sulit bagi pemerintah untuk melakukan pengontrolan terhadap barang-barang impor.

"Kontrol dan enforcement (penegakkan hukum) akan semakin rumit dan belum tentu efektif juga, sehingga waktu akan habis untuk mengurus aspek monitoring (pengawasan). Padahal, titik masuk barang impor banyak sekali," tuturnya.

Selanjutnya, Adrian juga menyebut pemasangan aturan tersebut dapat membebankan konsumen-konsumen dalam negeri. Seharusnya pemerintah dapat membenahi masalah yang melatarbelakangi tingkat konsumsi barang impor.

Menurut Adrian, alasan konsumen lebih memilih barang impor terkait pada dua poin, yakni barang yang dibeli karena harga impor lebih murah, atau barang tersebut dibeli karena barang serupa tidak diproduksi di dalam negeri.

"Kalau poin satu itu terkait tata kelola kebijakan manufaktur, pembiayaan, dan teknik produksi barang. Kalau kedua, terkait kemampuan industri manufaktur kita. Akan sangat aneh bila solusi kebijakannya justru seperti mempenalti konsumen," tuturnya.

Praktik Culas Rugikan Industri

Ketua Komite Ritel Apindo Tutum Rahanta mengatakan batas nilai bebas bea masuk kerap disalahgunakan. Karenanya, ia mendukung rencana pemerintah kembali memangkas batas nilai barang impor yang bebas masuk.

[Gambas:Video CNN]

Ia mencontohkan, ada pihak yang 'mengambil' barang dari luar negeri, memecahnya dalam nilai kecil supaya tidak membayar bea masuk. Setelah masuk ke Indonesia, barang tersebut kemudian diperdagangkan.

Praktik "culas" tersebut kata Tutum telah merugikan industri dan pengusaha di dalam negeri yang menjalankan usaha mereka sesuai aturan. Pasalnya, dengan kecurangan tersebut pihak yang tak bertanggung jawab bisa memasukkan barang tanpa harus membayar pungutan bea masuk dan lainnya dari negara.

"Agar tidak terjadi masalah seperti itu, kami usulkan batasannya diturunkan, kalau perlu US$0 supaya tidak terjadi kebocoran," katanya.

Selain menurunkan batas nilai, pihaknya juga meminta pemerintah untuk membatasi kuota pengiriman barang impor.

"Dalam setahun harus dibatasi, orang dengan alamat ini, barang yang diimpor ini, kalau sudah dibatasi, kalaupun nanti disalahgunakan barangnya untuk dijualbelikan efeknya tidak sebesar sekarang ini," jelasnya.

(sfr)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/2EstaCL
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dilema Turunkan Batas Nilai Impor Bebas Bea Masuk"

Post a Comment

Powered by Blogger.