PERISKOP 2020
CNN Indonesia | Senin, 30/12/2019 13:34 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri BUMN Erick Thohir melakukan gebrakan bersih-bersih pada perusahaan pelat merah. Di tahun ini, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk jadi target Erick setelah kasus penyelundupan Harley Davidson terungkap, termasuk kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero).Kasus Garuda bahkan mendorong Erick untuk melihat ulang ratusan anak, cucu, dan cicit perusahaan BUMN, termasuk rangkap jabatan direktur dan komisaris di anak-cucu usaha mereka sendiri.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah mengatakan sebelum melanjutkan aksinya lebih jauh, Erick perlu membuat pemetaan menyeluruh tentang BUMN. Pasalnya, tidak semua perusahaan pelat merah yang berjumlah 142 memiliki kinerja bobrok.
Sebagian lainnya, menurut dia, masih menghasilkan keuntungan dalam bentuk dividen kepada negara maupun mengemban penugasan pada sektor-sektor usaha yang belum diminati swasta.
"Kami harap pak Erick Thohir mengawalinya dengan satu paparan yang lengkap tentang pandangan beliau terhadap BUMN seperti apa. Kami perlu tahu posisi pak Erick Thohir bagaimana, mau membawa BUMN ke mana, dan apa strateginya," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.
Menurut dia, Erick perlu memilah BUMN yang masih memberikan kontribusi positif pada negara, BUMN yang tertekan akibat mengemban penugasan pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, serta BUMN yang merugi akibat kinerja menurun.Ia menilai setiap permasalahan BUMN itu membutuhkan penanganan berbeda. Di sisi lain, tak semua BUMN dapat diukur performa kinerjanya melalui kenaikan laba dan pendapatan, khususnya BUMN yang mengemban penugasan pemerintah, sebut saja PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
Tolak ukur mereka utamanya dari pelayanan kepada masyarakat. "Kita tidak bisa memberikan ekspektasi besar kepada BUMN seperti itu, tidak semata dinilai dari keuntungan saja, misalnya saya tak menilai PLN dari sisi untung rugi tapi dari sisi pelayannya," katanya.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mengklasifikasikan BUMN menjadi dua kategori. Pertama, BUMN merugi, namun dari sisi bisnis masih memiliki potensi ke depan karena produknya dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk kategori ini, pemerintah perlu melakukan langkah penyelamatan.
Kedua, BUMN merugi secara menahun, namun dari sisi bisnis tidak memiliki prospek cerah, baik disebabkan permintaan pasar menurun maupun pangsa pasar diambil alih oleh perusahaan swasta. "Untuk perusahaan seperti ini, lebih baik ditutup saja alias likuidasi," ucapnya.
CNNIndonesia.com merangkum BUMN yang masuk dalam kategori sekarat, sehingga membutuhkan penanganan segera dan perlu dipertimbangkan lagi kelanjutan bisnis perusahaan.Garuda Indonesia
Meski upaya bersih-bersih sedang dilakukan, patut diingat Garuda Indonesia bukan cuma tercatat rugi. Tetapi juga tengah tersangkut masalah manajemen. Sebagaimana marak diperbincangkan akhir-akhir ini, mantan direktur utama (Dirut) Garuda Indonesia Ari Askhara terbukti melakukan penyelundupan.
Memang, Erick Thohir telah mencopot Ari Askhara dari posisinya, termasuk mengganti direksi lainnya dan komisaris. Langkah ini, menurut Toto, tindakan cepat dalam membenahi GCG dan transformasi perseroan.
Tetapi, ada pekerjaan rumah (PR) lainnya yang menanti. Yakni, perampingan anak dan cucu usaha Garuda Indonesia. Hal ini perlu dilakukan agar bisnis maskapai pelat merah ini lebih maksimal ke depan. "Anak dan cucu Garuda Indonesia ada hubungan ke bisnis utama ada juga yang tidak, nah perlu dirampingkan," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]
Asuransi Jiwasraya
Selain Garuda, Erick Thohir juga perlu mengawal terus kasus Jiwasraya. Apalagi, setelah diselidiki, kasus ini merupakan kasus likuiditas seret yang sudah menahun. Kasus ini juga melibatkan direksi lama atas kebijakan investasi yang dilakukan semena-mena dan mengakibatkan kerugian negara.
Saat ini, ekuitas Jiwasraya negatif Rp10 triliun. Pun demikian, Toto meminta pemerintah untuk tidak gegabah melakukan likuidasi terhadap perusahaan asuransi jiwa BUMN itu. Sebab, Jiwasraya menanggung puluhan ribu nasabah yang dananya nyangkut dan saat ini belum terbayarkan.
"Untuk kasus Jiwasraya lakukan saja langkah-langkah yang lebih tegas, serta memberikan solusi jangka panjang," terang Toto.
Krakatau SteelPerusahaan pelat merah produsen baja ini mencatat kerugian selama selama tujuh tahun berturut-turut. Pada kuartal III 2019, Krakatau Steel membukukan kerugian sebesar US$211,91 juta setara Rp2,97 triliun. Kerugian perseroan tersebut membengkak 467 persen dari periode sama tahun lalu yang tercatat rugi sebesar US$37,38 juta atau setara dengan Rp523 miliar.
Salah satu penyebab kerugian adalah penurunan pendapatan yang dipicu lesunya penjualan produk baja lokal. Kondisi keuangan Krakatau Steel makin buruk lantaran perseroan juga memiliki utang sebesar US$2,68 miliar setara Rp37,52 triliun. Posisi utang Krakatau Steel naik dari posisi akhir tahun sebesar US$2,49 miliar setara Rp34,86 triliun.
Saat ini, perseroan tengah melakukan upaya restrukturisasi utang dengan mengajukan perjanjian kredit kepada bank pemberi pinjaman. Selain itu, perusahaan juga melakukan efisiensi besar-besaran, salah satunya dengan mengurangi jumlah pegawai.
Meski kondisi keuangan perusahaan sangat memprihatinkan, Toto menilai kebutuhan baja nasional masih tinggi. Karenanya, ia menyarankan pemerintah merestrukturisasi total manajemen Krakatau Steel.
"Krakatau Steel sudah rugi beberapa tahun terakhir sehingga membutuhkan transformasi radikal, supaya bisa memperbaiki situasi internal keuangan sehingga ke depan lebih positif," ujarnya.Serupa dengan Garuda Indonesia, Toto menilai langkah paling tepat adalah dengan memangkas anak usaha yang tak relevan dengan bisnis inti perseroan. Krakatau Steel sendiri tercatat memiliki beberapa anak usaha yang bergerak di luar sektor baja.
Sebut saja, PT Krakatau Daya Listrik di sektor kelistrikan, PT Krakatau Tirta Industri di sektor air, PT Krakatau Bandar Samudera di sektor pelabuhan, dan PT Krakatau Industrial Estate Cilegon di sektor properti.
"Anak usaha yang tidak terkait langsung seperti pengelolaan air dan sebagainya dilepas saja, lalu sebagian hasil divestasi bisa digunakan untuk menambal utang mereka yang besar," imbuhnya.
Pos IndonesiaSelain Krakatau Steel, kondisi keuangan Pos Indonesia juga tengah tertekan. Kondisi ini mulai mencuat ke publik ketika perseroan terlambat membayar gaji karyawannya. Manajemen Pos Indonesia mengungkapkan disrupsi teknologi yang melahirkan layanan serupa lainnya membuat laba perusahaan terus tergerus.
Berdasarkan laporan keuangan terakhir, laba bersih merosot 64 persen dari Rp355 miliar pada 2017 menjadi hanya Rp127 miliar pada 2018.
Selain itu, peran pembayaran, remitansi, hingga penyaluran dana oleh perusahaan yang identik dengan warna oranye itu tergantikan oleh kehadiran bank dan fintech.
Di sisi lain, perseroan terpaksa merogoh kocek Rp600 miliar per tahun untuk menangani kerugian dari penerapan tarif Layanan Pos Universal (LPU). Tarif LPU merupakan penugasan pemerintah kepada perseroan.
Menurut Toto, Pos Indonesia harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi sehingga mampu bersaing dengan kompetitornya. Ia menilai Pos Indonesia memiliki kekuatan, yaitu jaringan distribusi yang tersebar hingga ke pelosok Indonesia.
"Untuk Pos Indonesia perlu dilakukan dengan jalan mengadaptasi perubahan lingkungan, jadi mereka tidak bisa lagi menjalankan bisnis secara tradisional," paparnya.
Merpati Nusantara Airlines
Merpati Nusantara Airlines atau yang dikenal sebagai Merpati telah mati suri sejak 2014 lalu. Merpati meninggalkan utang sebesar Rp10,7 triliun kepada seluruh krediturnya.
Harapan untuk kembali mengudara muncul pada November 2018 lalu, ketika Pengadilan Niaga Surabaya mengabulkan permohonan perdamaian BUMN penerbangan itu. Kendati demikian, Merpati tetap harus melunasi seluruh utangnya.
Lalu, pada November 2019 sebanyak 10 BUMN menjalin kerja sama operasi (KSO) dengan Merpati. KSO yang digawangi oleh Garuda Indonesia itu bertujuan untuk menyehatkan kondisi keuangan Merpati.
Toto menilai, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Merpati hanyalah dengan suntikan modal dari investor kakap yang berani meminang Merpati. Tanpa kehadiran investor, upaya penyelamatan Merpati dinilai akan sia-sia."Mereka butuh investasi besar sekali, sepanjang tidak ada investor yang ambil alih, itu (terbang kembali) sulit," ucapnya.
Dari sisi bisnis, ia menilai kehadiran pesaing dari perusahaan swasta telah hadir mengisi rute-rute kosong Merpati, sehingga pasarnya pun mulai tergerus. Untuk diketahui, Merpati menerbangi rute-rute perintis yang dulunya tidak dijangkau oleh maskapai lain.
Namun demikian, ia menyatakan masih terdapat harapan untuk anak usaha Merpati yang bergerak di bisnis maintenance repair & overhaul (MRO) untuk pesawat perintis, yakni PT Merpati Maintenance Facility (MMF) yang berbasis di Surabaya.
Menurut Toto, bisnis perawatan pesawat MMF masih berjalan hingga saat ini dan memiliki potensi pengembangan ke depannya. Bahkan, MMF masih menerima pelanggan dari luar negeri, seperti Filipina.
"Sebaiknya pemerintah membagi dua, untuk perusahaan maintenance masih ada prospek kalau mau dibesarkan lagi bisa digabung dengan GMF AeroAsia (anak usaha Garuda Indonesia), sedangkan untuk bisnis penerbangan sepanjang tidak ada investor yang punya uang dan bisa menanggulangi segala macam kewajiban Merpati, saya kira sulit," paparnya.
PLN dan PertaminaTerakhir, terdapat nama perusahaan BUMN yang sangat berkaitan dengan hajat hidup masyarakat yaitu PLN dan Pertamina. Sekilas, tak ada yang salah dengan dua perusahaan tersebut lantaran masih menyumbang laba.
Namun, jika ditelaah lebih dalam Pieter bilang kedua perusahaan tersebut membutuhkan langkah efisiensi, misalnya pengurangan biaya yang tidak perlu, kajian ulang mengenai jumlah pejabat internal perusahaan, perampingan anak dan cucu usaha yang tidak memiliki korelasi dengan bisnis utama, dan sebagainya.
Bukan tanpa alasan, ia bilang PLN dan Pertamina membutuhkan kekuatan dalam menjalankan amanat besar yang diemban sebagai perusahaan pelat merah. PLN harus menyelesaikan mega proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (Mw), sementara Pertamina memiliki tanggung jawab penyelenggaraan BBM satu harga hingga ke pelosok.
Beberapa waktu lalu, dua perusahaan telah menyatakan komitmennya untuk memangkas anak dan cucu usaha sesuai arahan Erick Thohir. Harapannya, ke depan komitmen itu bukan hanya sekadar ucapan semata, tetapi juga direalisasikan.
"Tapi saya membatasi ekspektasi, saya tidak bisa mengharapkan Pertamina menjadi sebesar Petronas (BUMN perminyakan Malaysia) karena beban tugas Pertamina beda dengan Petronas. Begitu juga dengan PLN," ucapnya.
Bubar Jalan
BACA HALAMAN BERIKUTNYAfrom CNN Indonesia https://ift.tt/2rCOySM
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "BUMN 'Sekarat' Jadi PR Erick Thohir Usai Garuda dan Jiwasraya"
Post a Comment