
Hal ini membuat mereka lebih memilih mengajukan kredit di bank perkreditan rakyat (BPR) ketimbang bank umum.
"Ketika kami mengajukan ke perbankan seharusnya bank cukup dengan kontrak kami untuk bisa menjadi jaminan, ini diminta tambah," ucap Wakil Ketua Umum Gapensi La Ode Saiful Akbar, Senin (4/11).
Bank umum, sambung La Ode, meminta tambahan jaminan berupa aset tanah dan bangunan yang bernilai 120 persen dari nilai proyek yang akan dikerjakan. Hal itu menyulitkan karena tak semua perusahaan memiliki aset yang diminta. "Nah di sinilah pengusaha kelas menengah yang harus diperhatikan perbankan, kami meminjamnya jadi ke BPR," kata dia.
Terlebih, bunga kredit yang ditawarkan bank umum juga masih tinggi, yakni 12 persen sampai 13 persen. Padahal, proyek infrastruktur yang akan dikerjakan perusahaan biasanya hanya berjalan enam bulan sampai delapan bulan.
"Kami kan konstruksi hanya enam bulan dan delapan bulan, tapi bunga sampai 13 persen. Ini pengusaha tidak masuk," terang La Ode.
Di samping itu, pengusaha konstruksi kelas menengah juga mengeluh karena lebih sering menjadi subkontraktor di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan pelat merah seringkali yang menjadi kontraktor utama.
[Gambas:Video CNN]
"Kami dapatnya subkontraktor yang pembayarannya bisa enam bulan. Pengusaha jadinya pinjam ke bank dan pembayarannya jadi telat," ucap La Ode.
Hal itu membuat rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) terus meningkat. Dalam tiga bulan terakhir saja, NPL sektor konstruksi naik dari 2,5 persen menjadi 2,6 persen.
"Padahal sesuai aturan BUMN hanya bisa kerjakan proyek di atas Rp100 miliar. Benar memang, tapi yang di bawah Rp100 miliar dikerjakan anak dan cucu BUMN. Jadi perusahaan nasional tidak dapat apa-apa," pungkas dia.
(aud/agt)from CNN Indonesia https://ift.tt/2NH7vKZ
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pengusaha Konstruksi Keluhkan Syarat Kredit dari Bank Umum"
Post a Comment