
Namun, saya tidak tertarik menyoroti soal layak atau tidaknya seorang Ahok. Penulis hanya berusaha mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian dalam menunjuk pejabat di posisi BUMN. Apalagi PT Pertamina (Persero).
Sebelumnya, mari renungkan sejenak peran penting Pertamina sebagai perusahaan penyedia energi terbesar milik Indonesia.
Perusahaan yang berdiri 10 Desember 1957 ini memiliki aset luar biasa karena mengelola sektor industri migas mulai dari hulu (eksplorasi dan produksi), tengah, hingga hilir (pengolahan dan distribusi).
Demikian pula dari sisi investasi. Untuk mengebor satu sumur minyak saja membutuhkan investasi ratusan miliar rupiah. Bayangkan berapa dana untuk membuat roda BUMN ini bergerak dari hulu ke hilir.
Sementara dari sisi peran, Pertamina bertanggung jawab penuh menjaga kebutuhan dan cadangan minyak dan gas bagi seluruh rakyat, mulai dari hulu hingga hilir.
Sebagai negara yang kaya sumber atau cadangan migas, seharusnya saat ini Indonesia telah memiliki perusahaan migas kelas dunia yang bisa dibanggakan. Namun kenyataannya kita saat ini justru masih terengah-engah untuk sekadar mengejar Petronas milik negara tetangga, Malaysia.
Padahal Petronas baru dibentuk pemerintah Malaysia pada 1974 - saat Pertamina sudah menggeliat jadi raksasa. Berkah minyak pada saat itu, membuat Pertamina menjadi pemain utama minyak dunia sehingga Pemerintah Indonesia mempunyai modal untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Berbagai proyek infrastruktur dibangun dengan uang hasil minyak sehingga Indonesia menjadi negara industri baru.
Namun Petronas justru kemudian menyalip dan kini bertengger di atas Pertamina dalam daftar Fortune Global 500 teranyar.
Penulis pada awal 2018 lalu sempat mendatangi markas Petronas di Malaysia. Kunjungan ini membuka mata bahwa ketertinggalan dari sisi waktu bisa dikejar lewat perencanaan yang baik, keberanian dalam mengeksekusi, serta dukungan pemerintah yang tepat.
Petronas saat ini telah menjadi pemain kelas dunia karena think big and act big.
Kita tidak perlu mencari penyebab kenapa Pertamina tidak bisa berlari secepat Petronas. Namun, Pemerintah harus benar-benar mendorong Pertamina berlari lebih cepat di semua sektor.
Apalagi pada sektor hulu Pertamina kini sudah menggenggam blok-blok migas besar seperti Blok Mahakam dan lainnya, yang sudah habis kontrak. Kini, tinggal terus mengoptimalkan produksi blok-blok tersebut seperti saat dikelola perusahaan multi nasional.
Jauhkan Unsur Politik
Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengganti pimpinan Pertamina sehingga dapat mengejar ketertinggalan. Pola penentuan seseorang layak atau tidak menjadi direksi Pertamina tentu tidak bisa hanya dengan modal feeling atau like and dislike, apalagi unsur-unsur politis.
Bukan rahasia lagi, jabatan komisaris ataupun direksi BUMN kini acap kali ditawarkan sebagai bentuk balas jasa karena dukungan politis.
Kita perlu mencontoh Presiden Soeharto ketika memanggil BJ Habibie ke Indonesia pada tahun 1973. Saat itu, Soeharto tahu persis prestasi Habibie, tapi dia tidak langsung mengangkatnya menjadi Menteri. Pada saat itu, beliau baru dijadikan penasehat pemerintah (langsung di bawah presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi. Baru setelah lima tahun kemudian, Habibie diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (1978).
Demikian juga ketika Soeharto menugaskan Tanri Abeng membenahi BUMN yang pada masa itu memiliki kinerja sangat lemah.
Sebelum mengambil posisi itu, Tanri telah malang melintang di level nasional dan internasional, menangani perusahaan-perusahaan besar seperti PT Union Carbide Indonesia dan Singapura, PT Multi Bintang Indonesia, serta Presdir Group Bakrie.
Pada masa itu, Tanri Abeng yang pernah dikenal sebagai 'Manajer Rp 1 Miliar' mampu memperbaiki kinerja Bakrie & Brothers. Selain itu, pada saat memegang perusahaan Bir Bintang, tahun 1982, Tanri Abeng berhasil menaikan keuntungan yang signifikan.
Akhirnya Soeharto meliriknya dan menjadikannya Menteri Negara BUMN (1998).
Legenda Semen Padang
Satu lagi contoh yang melegenda soal pengangkatan pimpinan BUMN terjadi pada akhir era 1960-an, ketika saham Semen Padang sempat akan dijual pada perusahaan Perancis.
Pada 1968, Ir. K.A. Mat Tjik yang menjabat Dirut PN Semen Padang mengatakan, pemerintah sudah membuat draf kerja sama dengan perusahaan dari Prancis yang akan membeli 50 persen saham perusahaan tersebut. Setelahnya, Semen Padang akan dikendalikan asing atau akan dilego saja sebagai besi tua, karena sudah tidak produktif lagi.
Informasi itu menggoncang pabrik tua itu.
Gubernur Sumatera Barat kala itu, Harun Zain, pun mendengar. Beliau marah besar karena Semen Padang adalah satu-satunya aset kebanggaan daerah yang ada di Sumatera Barat.
Harun Zain sempat memanggil Mat Tjik dan mendengar berbagai argumen bahwa Semen Padang bukan akan dijual, tetapi hanya kerja sama dengan perusahaan Perancis. Namun Gubernur saat itu tidak percaya.
Beliau kemudian berjuang ke Jakarta dan menghadap Menteri Perindustrian, Jenderal M. Jusuf, agar Semen Padang tidak jadi dijual. Sekuat tenaga beliau meyakinkan M. Jusuf agar rencana penjualan dibatalkan.
Kepada Menteri, Harun Zain mengatakan, rakyat Sumbar telah mempertahankan pabrik Indarung selama perang dunia kedua, karena itulah satu-satunya industri yang masih hidup. Setelah beragumen, akhirnya Harun Zain berhasil meyakinkan M. Jusuf agar Semen Padang tidak dijual. Namun sang menteri memberi syarat: Harun Zain harus bisa mengubah besi tua itu menjadi sesuatu yang berguna.
M. Jusuf juga meminta agar Harun mencari orang yang mampu mengelola dan menjalankan pabrik itu.
Bersama beberapa rekannya, Harun kemudian merayu Ir. Azwar Anas, seorang perwira tamatan ITB yang sedang memimpin anak perusahaan Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) di Bandung.
Sebelum menemui Azwar Anas di Bandung, dan memintanya pulang untuk memimpin Semen Padang, Harun Zain melalui M.Jusuf sudah dulu meminta Kasad untuk menugaskan Azwar Anas ke Padang.
Karena terperangkap "jeratan" Harun Zain, Azwar Anas mau meninggalkan posisinya yang sudah mapan di Bandung, mengemban tugas berat memulihkan perusahaan tua kebanggaan daerah di Sumatera Barat.
Niat tulus Azwar Anas mengabdi di kampung halamannya itu tidak sia-sia. Ketika memulai tugasnya di PN Semen Padang, ia tidak mendahulukan pembenahan pabrik. Yang dia perbaharui adalah semangat dan mentalitas karyawannya.
"Modal utama sebuah perusahaan itu adalah manusia, karyawannya. Bukan mesin," begitu keyakinan Azwar Anas, ketika itu.
Prestasi Azwar Anas memimpin Semen Padang, membuatnya kemudian tiga kali dipilih Presiden Soeharto jadi menteri.
Pengalaman Soeharto memilih Habibie dan Tanri Abeng serta Azwar Anas dapat menjadi referensi Presiden Joko Widodo dalam menetapkan petinggi BUMN.
Berani menghindari rayuan kepentingan politik dan tekanan politisi, serta memilih orang dengan kemampuan baik, mudah-mudahan mampu menjadikan BUMN Indonesia naik kelas di panggung dunia. (vws)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2rU2yHG
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ahok dan Jurus Soeharto Hingga Jokowi Urus BUMN"
Post a Comment