
Alasannya, nominal PMN yang besar sejak 2015 hingga 2018 tak diiringi dengan perbaikan kinerja dari perusahaan pelat merah.
Ekonom Indef Abra Talattov mengatakan total alokasi PMN untuk BUMN selama 2015 sampai 2018 mencapai Rp130,3 triliun. Namun, berdasarkan data Indef, laba BUMN tak melesat selama periode tersebut.
Padahal, kata Abra, suntikan modal dari pemerintah seharusnya bisa mendongkrak kinerja BUMN agar laba yang dikantongi lebih signifikan.
"Ironisnya, ketika alokasi PMN sangat besar justru masih banyak BUMN yang menghadapi tekanan keuangan, yang pada gilirannya kembali membebani APBN," ucap Abra dalam sebuah diskusi, Minggu (25/8).Abra berpendapat, keuangan BUMN yang landai dipengaruhi oleh pemberian tugas yang berat dari pemerintah. Misalnya, perusahaan pelat merah diberikan penugasan untuk membangun infrastruktur yang tak menguntungkan secara bisnis.
"Ini harusnya menjadi pesan bagi pemerintah bahwa ada persoalan riil yang sedang dihadapi oleh BUMN," kata Abra.
Jika kinerja BUMN terus merosot, dampaknya juga buruk pada APBN. Abra menyebut jumlah dividen dan pajak yang diterima oleh pemerintah akan berkurang jika laba BUMN semakin turun.
"Apalagi kalau kinerja turun dan utang menumpuk, mungkin selain pembiayaan kembali (refinancing) nanti minta pertolongan pemerintah dan ujung-ujungnya pemberian PMN lagi," jelas Abra.Semakin banyak PMN yang dikeluarkan, artinya belanja yang akan digelontorkan juga berpotensi membengkak. Ujung-ujungnya, defisit anggaran bisa lebih besar dari perkiraan sebelumnya.
Diketahui, pemerintah berencana menganggarkan PMN sebesar Rp17,7 triliun dalam RAPBN 2020. Mayoritas diberikan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebesar Rp5 triliun, PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) Rp3,8 triliun, dan PT Hutama Karya (Persero) Rp3,5 triliun.
Lebih lanjut Abra menyebut pemerintah seringkali menyebut seolah-olah bisnis BUMN dan proyek negara adalah dua hal yang berbeda. Padahal, mayoritas proyek infrastruktur yang dikerjakan perusahaan pelat merah juga pemberian dari pemerintah.
"Infrastruktur dikerjakan BUMN jadi utang pemerintah seperti tidak besar, padahal yang dibebankan BUMN dan beban BUMN bisa jadi berisiko untuk APBN. Jadi sama saja sebenarnya. Bukan hal yang terpisah," papar dia.Berdasarkan data yang dimilikinya, utang luar negeri (ULN) BUMN non bank pada kuartal II 2019 tembus US$42,25 miliar atau naik dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$29,06 miliar.
Hal yang sama terjadi pada BUMN di sektor perbankan. Totalnya pada kuartal II 2019 sebesar US$7,58 miliar, sedangkan sebelumnya US$5,56 miliar. Dengan demikian, total ULN BUMN pada kuartal II 2019 naik menjadi US$49,83 miliar dari US$34,62 miliar.
Saat ini, Abra menyebut hasil macro stress test yang dilakukan Kementerian Keuangan menyatakan bahwa risiko APBN berada di level 4. Ini artinya, dampaknya cukup signifikan kepada APBN.
[Gambas:Video CNN]
"Nah di sini menjadi tugas Kementerian BUMN untuk menunjukkan kepada publik sejauh mana mitigasi risiko itu bisa dilakukan, risiko terkait proyek dan utang BUMN," kata Abra.
Selain itu, manajemen dari masing-masing perusahaan pelat merah juga harus objektif dalam menerima penugasan dari pemerintah. Jika memang dalam kajian tak menguntungkan secara bisnis, perusahaan harus berani melakukan negosiasi dengan pemerintah.
"Ya kalau mengacu ke soal ekonomi politik, pasti tidak ada yang berani menolak pemerintah. Tapi bukan berarti iya-iya saja, karena dampaknya juga bahaya ke APBN," jelasnya. (aud/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/33ZdH8E
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom Sebut Suntikan Modal Negara ke BUMN Bebani APBN"
Post a Comment