Search

Perang Diskon dan Masa Depan Uang Elektronik

Jakarta, CNN Indonesia -- Perkembangan teknologi membuka peluang bisnis bagi industri uang elektronik alias uang digital di Indonesia. Kondisi ini didukung dengan perubahan pola masyarakat yang mulai mengarah kepada transaksi nontunai atau cashless.

Terbukti, nilai transaksi uang elektronik pada periode Januari-Mei 2019 tumbuh signifikan. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi uang elektronik tumbuh sebesar 76,46 persen dari Rp543,13 miliar tahun lalu menjadi Rp958,42 miliar periode yang sama tahun ini.

Menariknya, dompet elektronik nonperbankan seperti Gopay, OVO, dan Dompet Digital Indonesia (Dana) cukup mendapatkan tempat di hati masyarakat. Buktinya, bank sentral mencatat rata-rata transaksi pembayaran pengguna uang elektronik nonbank lebih tinggi dari uang elektronik terbitan bank.

Nilainya mencapai Rp33 ribu per transaksi jauh lebih tinggi dari rata-rata transaksi pengguna uang elektronik terbitan bank yang hanya Rp13 ribu per transaksi.

Tak ayal, pasar uang elektronik menjadi lahan menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan yang berkecimpung di dalamnya. Berbagai uang elektronik pun lahir meramaikan pasar ini. Bahkan, perusahaan negara tak mau ketinggalan cuan dari uang elektronik.


Lewat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerja sama dengan perusahaan pelat merah lainnya, pemerintah membuat layanan pembayaran nontunai LinkAja yang dikelola PT Fintek Karya Nusantara (Finarya).

Chief Marketing Officer (CMO) LinkAja Edward Kilian Suwignyo mengaku perusahaan akan fokus pada kebutuhan sehari-hari konsumen sebagai strategi menghadapi perang di industri uang elektronik. Mereka menyatakan tak akan mengandalkan diskon demi menggaet pasar, seperti yang dilakukan oleh pendahulunya.

"Kenapa kami tidak mau bertarung dengan sistem promo, itu karena kami fokus pada suatu kemudahan bukan kemurahan," tutur Edward, Kamis (4/7).

Ia mengatakan LinkAja memiliki empat layanan yang terdiri dari transportasi, produk digital, merchant, dan layanan keuangan. Di layanan transportasi, pengguna aplikasi bisa menikmati pembayaran tol dengan teknologi RFID, pembayaran parkir, dan taksi Blue Bird.

Teknologi RFID itulah, kata Edward, yang akan menghubungkannya dengan aplikasi LinkAja. Nantinya, saldo uang elektronik akan otomatis terpotong.

"Jadi kalau sudah ada teknologi RFID ini, bayar tol bisa dilakukan tanpa buka kaca dan bisa melewati gerbang tol tanpa harus berhenti dulu," ucap Edward.


Tak mau kalah, Direktur OVO Harianto Gunawan mengatakan perseroan akan fokus pada inovasi layanan bagi pengguna. Saat ini, konsumen bisa menggunakan OVO untuk melakukan berbagai pembayaran hingga fasilitas layanan keuangan seperti pinjaman ritel.

Ia bilang OVO dapat digunakan untuk bertransaksi di 500 ribu merchants di lebih dari 300 kota di Indonesia.

"Pasar uang elektronik saat ini masih berkembang pesat dan OVO melihat besarnya potensi uang elektronik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital serta pemerataan akses layanan keuangan," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Sementara itu, Chief Communication Officer Dana Chrisma Albandjar mengatakan Dana akan fokus pada peningkatan user experience (pengalaman konsumen) khususnya pengalaman bertransaksi digital yang aman, mudah, cepat, dan akurat. Menurutnya, user experience adalah kunci untuk memperkuat kepercayaan pengguna untuk tetap menggunakan Dana.

Hal ini juga menjadi stimulus bagi masyarakat yang masih menggunakan transkasi tunai untuk beralih ke layanan digital.

"Pengalaman, kenyamanan, dan kepercayaan pengguna sangat penting untuk kami," katanya.
[Gambas:Video CNN]
Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Heru Sutadi mengatakan Indonesia memiliki potensi pasar uang elektronik yang besar. Pasalnya, baru 25 persen dari total masyarakat yang kerap menggunakan transaksi nontunai, sedangkan sisanya masih bertransaksi tunai.

"Penggunaan uang cash (tunai) kita masih sekitar 75 persen," katanya.

Meskipun banyak pemain baru, ia menilai masing-masing pelaku memiliki segmentasi pasar khusus. Ia mencontohkan Gopay bagi pengguna layanan Gojek, OVO menjadi bagian dari Grab, dan Dana menjalin mitra dengan Bukalapak. Bahkan, sang pemain baru yakni LinkAja memiliki pasar khusus yakni transaksi di kalangan pegawai BUMN.

"Masih cukup ruang berkompetisi dan menjadi yang terbesar nantinya," tambahnya.

Ia bilang kehadiran uang elektronik ini bisa meningkatkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Terlebih, banyak masyarakat Indonesia yang tidak terjangkau oleh bank (unbankable).


Fakta ini membuat transaksi melalui uang elektronik nonbank lebih tinggi ketimbang transaksi uang elektronik dari perbankan. Selain itu, layanan uang elektronik nonbank dinilai memberikan lebih banyak kemudahan.

"Jadi masuknya lembaga nonbank memang diharapkan mengisi kekosongan itu. Kalau istilahnya untuk mewujudukan inklusi keuangan," paparnya.

Pengamat ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan untuk bertahan di pasar, penyelenggara uang elektronik harus mampu membaca kebutuhan masyarakat. Secara umum, masyarakat tentunya mendambakan kemudahan dalam transaksi yang diwujudkan dalam penggunaan aplikasi, transaksi praktis, kemudahan isi ulang, luasnya jaringan dengan berbagai merchant, dan sebagainya.

"Perusahaan harus tahu yang disukai konsumen seperti apa,"katanya.

Namun demikian, transformasi ke arah nontunai ini ibarat dua sisi mata uang, ada sisi positif adapula negatif.

Heru bilang transaksi nontunai memudahkan sistem pembayaran bagi konsumen, lantaran mereka tidak perlu menyiapkan uang kembalian. Di samping itu, transaksi nontunai lebih praktis karena konsumen tidak membawa uang tunai dalam dompet ketika hendak bertransaksi.


Namun, ia mengingatkan konsumen jika transaksi elektronik memiliki sisi rentan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, dari sisi keamanan sistem transaksi. Penggunaan teknologi seringkali dihadapkan dengan kesalahan sistem yang berpengaruh kepada transaksi sehingga konsumen diminta waspada akan hal tersebut.

"Saya punya pengalaman uang deposit saya hilang dan tidak tahu harus mengadu ke mana. Nilainya tidak besar sekitar Rp30 ribu, tetapi itu hanya seorang. Kalau kasusnya terkena ke satu juta pengguna bagaimana," katanya.

Kedua, lanjutnya, masyarakat menjadi konsumtif karena uang elektronik menawarkan banyak kemudahan. Belum lagi, perusahaan penyedia uang elektronik gemar menebar diskon bagi penggunaannya.

"Harusnya Bank Indonesia atau pihak berwenang mengkampanyekan juga slogan bijak gunakan uang elektronik Anda agar tidak juga membeli yang tidak perlu," katanya. (agi)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/2FVkkyl
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Perang Diskon dan Masa Depan Uang Elektronik"

Post a Comment

Powered by Blogger.