
Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, bersepakat dengan Presiden Lapindo brantas Inco. Tri Setia Sutisna dan Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darrusalam soal pemberian pinjaman.
Dana itu untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan Lumpur Lapindo dalam peta area terdampak.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam pernyataan yang dikeluarkannya waktu itu menyatakan perjanjian berisi empat poin penting. Pertama, besaran dana talangan sebesar Rp781,68 miliar.
Kedua, bunga pinjaman dana talangan sebesar 4,8 persen per tahun. Ketiga, jangka waktu pengembalian selama empat tahun terhitung sejak tanda tangan perjanjian dilakukan.
Keempat, jika sampai dengan jangka waktu perjanjian, Lapindo Brantas Inc tidak melunasi dana talangan yang sudah dibayarkan pemerintah untuk membayar ganti rugi korban Lapindo tersebut, maka jaminan aset tanah dan bangunan yang telah dibayar Lapindo senilai Rp2,797 triliun beralih ke dalam penguasaan pemerintah.
Juli ini, batas waktu sesuai yang diperjanjikan habis. Tapi, menjelang batas waktu habis tersebut, Lapindo Brantas belum juga memenuhi isi perjanjian.
Data Kementerian Keuangan, hingga Desember yang lalu, total dana pinjaman atas talangan ganti rugi yang sudah digelontorkan pemerintah baru Rp5 miliar, atau 0,64 persen dari total kewajiban yang mereka harus kembalikan.
Menjelang batas waktu habis, Lapindo pada Juni lalu mengirimkan surat kepada Kementerian Keuangan. Direktur Lapindo Brantas Inc Faruq Adi Nugroho Sastrawiguna dan Direktur Utama Minarak Lapindo Benjamin Sastrawiguna mengatakan akan membayar utang dana talangan dengan menggunakan piutang ke pemerintah sebesar US$128,24 juta atau setara Rp1,9 triliun.
Piutang tersebut kata mereka, berasal dari dana talangan perusahaan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan Lumpur Lapindo selama periode 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007. Mereka mengklaim keberadaan piutang tersebut telah diketahui BPKP pada saat melakukan audit khusus terhadap pembukuan Lapindo Brantas Inc dan Minarak Lapindo Jaya pada Juni 2018 lalu.
Mereka juga mengklaim piutang telah diverifikasi SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti (cost recoverable) pada September 2018. Namun, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengisyaratkan bakal menolak usulan tersebut.
Dasarnya, pemerintah menilai klaim Lapindo bahwa utang dana talangan mereka bisa ditukar guling dengan piutang Rp1,9 triliun yang digunakan untuk penanggulangan lumpur Lapindo selama periode 2006 sampai 2007 dalam bentuk cost recovery tidak valid.
Mereka menilai cost recovery hanya bisa diberikan kalau proyek pengeboran sudah berproduksi dan diklaim dalam jangka waktu kontrak yang sama.
[Gambas:Video CNN]
"Jadi Kementerian Keuangan sampai saat ini masih meminta Lapindo melunasi kewajibannya," kata Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Issa Rachmatawarta.
Tanah Negara
Menjelang batas akhir pembayaran utang dana talangan, masalah baru muncul.
Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Tanah dan Ruang (Dirjen VII) RB Agus Widjayanto mengatakan problema itu terkait dengan jaminan yang digunakan Lapindo dalam perjanjian penggelontoran dana ganti rugi untuk korban di dalam peta area terdampak.
Tanah yang digunakan sebagai jaminan tersebut berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Sesuai UU Pokok Agraria, HGB adalah hak untuk membangun dan mempunyai bangunan di atas tanah orang lain atau tanah negara untuk jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.
Hak ini bisa diperpanjang dengan mengajukan ke kantor pertanahan. Status tanah tersebut mengartikan bahwa tanah itu milik negara.
Status inilah yang membuat pemerintah pusing tujuh keliling. Pasalnya, walau sudah masuk dalam perjanjian yang diteken pada Juli 2015 lalu, Agus mengatakan pemerintah belum sepenuhnya sepakat dengan jaminan yang diberikan oleh cucu usaha Grup Bakrie tersebut.
Pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait sampai sat ini masih berdiskusi mengenai jaminan tersebut. Apalagi, dari data yang diterimanya, tanah jaminan yang sudah tersertifikasi resmi oleh Kementerian ATR baru 45 hektare.
"Kami di pemerintah belum ada kesepakatan. Panitia masih mempertimbangkan. Masih banyak yang perlu dipertimbangkan," terang dia.
Rere Kristanto, Direktur Walhi Jawa Timur mengatakan kasus yang terjadi pada dana talangan korban Lumpur Lapindo dan penyelesaiannya tersebut terjadi karena memang prosesnya tidak dilakukan secara transparan.Ia bahkan mensinyalir bahwa permasalahan sekarang ini merupakan indikasi ada pihak yang memang berupaya untuk mengeliminir kewajiban perusahaan dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka terhadap korban Lumpur Lapindo. Kecurigaan dia dasarkan pada proses pemberian dana talangan yang bermasalah dan tidak transparan.
Dalam kaitannya dengan pinjaman dana talangan dengan jaminan aset misalnya. Rere mengatakan sejak awal sudah salah.
Menurutnya, Minarak Lapindo Jaya hanya bisa memiliki tanah dalam bentuk HGU, HGB, hak pakai dan hak pengelolaan yang memiliki jangka waktu terbatas dan akan kembali ke negara ketika batas waktunya habis.
Artinya, walau mereka bayar ganti rugi tanah masyarakat korban lapindo, dan kemudian tanahnya digunakan sebagai jaminan, itu semua bukan milik mereka. Jaminan tanah yang digunakan merupakan milik negara.
"Artinya, kalau mereka tidak mau bayar, tidak akan ada masalah buat mereka. Kalau tanah disita pemerintah yang tidak masalah, orang jaminan tersebut tanah negara," katanya.
Rere mengatakan pihaknya tidak bisa memberikan saran kepada pemerintah atas masalah pengembalian dana talangan tersebut. Apalagi katanya, sejak awal perjanjian yang dibuat memang cukup tertutup.
"Tidak tahu apa yang harus disarankan, isi perjanjiannya saja tidak bisa diketahui," katanya. (aud/agt)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2XEW2Ui
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bola Panas 'Tanah Negara' dalam Jaminan Talangan Lapindo"
Post a Comment