Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya mengumumkan perolehan pasangan itu mencapai 55 persen suara pada Pilpres 2019. Jokowi-Ma'ruf mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang hanya meraih 44 persen.
Soal pengurangan energi, sebelumnya terungkap dalam debat capres yang berlangsung 17 Februari lalu. Jokowi menuturkan energi fosil adalah energi yang cepat habis, sehingga pemanfaatannya harus terus dikurangi, namun belum secara detail menjelaskan caranya.
"Visi kami, Indonesia maju di bidang energi. Ke depan, kami akan kurangi banyak energi fosil akan semakin mudah dikurangi dari tahun ke tahun," tutur Jokowi saat itu.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih mendominasi dengan porsi 60,5 persen dari total kapasitas pembangkit terpasang sebesar 62.859 MW.
![]() |
Sementara itu, pembangkit Energi Baru Terbaruan (EBT) hanya menempati 12,6 persen saja, padahal targetnya harus mencapai 23 persen pada 2025 mendatang sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Sebenarnya, pemerintah sudah melakukan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan EBT. Pada 2018, Kementerian ESDM mencatat realisasi pembangkit EBT baru antara 2014 hingga 2018 sebanyak 4.213 MW dan rencananya akan bertambah sebanyak 560 MW di tahun ini.
Pemerintah juga menambah porsi pembangkit EBT di dalam Rencana Umum Penyediaan Usaha Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 hingga 2028 menjadi 16,7 Gigawatt (GW), dari target sebelumnya 14,9 GW yang tercantum di dalam RUPTL 2018 hingga 2027. Bahkan, investor pembangkit EBT bisa langsung merealisasikan proyeknya meski tak tercantum di RUPTL. Asal, kapasitasnya terbilang rendah.
Laporan Renewable Energy Prospects: Indonesia yang dirilis oleh International Renewable Energy Agency (Irena) 2017 memperkirakan potensi EBT bisa mencapai 716,4 GW pada 2030.
Dari total potensi tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mengambil potensi terbesar dengan jumlah 532,6 GW, atau 74,34 persen dari total potensi. Sementara itu, potensi terbesar kedua akan disumbang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), baik skala besar dan kecil dengan jumlah 94,4 GW atau 13,18 persen dari total potensi.
Laporan tersebut mengatakan, PLTS akan sangat berguna untuk daerah terpencil yang tidak perlu memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi (off-grid). Ini akan bermanfaat, mengingat kondisi geografis Indonesia yang memiliki ribuan pulau serta berada di wilayah tak terjangkau distribusi, seperti pegunungan.
Kemudian, pemanfaatan panel surya juga dapat dilakukan di wilayah perkotaan, yakni dengan memasang sistem panel surya atap. Potensi terbesar sendiri terdapat di Kalimantan dengan jumlah 149 GW dan Maluku-Papua dengan nilai 140,9 GW.
Hanya saja, Irena menaksir bahwa kapasitas maksimal PLTS pada 2025 mendatang akan sebesar 6,4 GW saja.
Namun belakangan, pemerintah mencoba mengembangkan PLTS secara lebih luas dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Khusus tenaga air, Irena menaksir potensi PLTA skala besar terdapat di 1.249 lokasi di seluruh Indonesia dan memiliki potensi mencapai 75 GW. Bahkan, PLTA skala kecil yang memiliki potensi 19,4 GW akan sangat berguna untuk pengembangan pembangkit off-grid, sama seperti PLTS.
"Potensi PLTA terbesar ternyata berada di wilayah yang permintaan listriknya cenderung lebih rendah, seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua," kata laporan tersebut dikutip Jumat (7/6).
Meski demikian, potensi yang melimpah ini tetap tak luput dari hambatan.
Untuk pengembangan PLTA, misalnya, Irena menyebut sebagian besar potensi PLTA berada di kawasan hutan lindung atau berlokasi di pemukiman. Beberapa contoh kasus yang bisa dicontoh adalah PLTA Batang Toru di Sumatera Utara dan rencana pembangunan PLTA Kayan di Kalimantan Utara.
Pemanfaatan EBT di kawasan terlindungi, lanjut laporan tersebut, juga akan menghambat pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) meski potensi geotermal di Indonesia mencatat 40 persen dari suplai dunia.
"Selain berada di lokasi hutan lindung, bisa saja cadangan panas bumi Indonesia juga bisa lebih kecil dari estimasi sebelumnya," tutur laporan itu.
Kritik lain datang dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang menyoroti pengembangan PLTS. Analis Keuangan Energi IEEFA Elrika Hamdi mengatakan pemerintah selalu membuat aturan yang justru menghambat pemanfaatan panel surya.
Menurutnya, aturan saat ini menekankan tiga hal yang justru merugikan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) PLTS.
Pertama, adalah skema Build Own Operate Transfer (BOOT) yang menjadi disinsentif investasi PLTS dan bikin perbankan enggan memberikan pembiayaan kepada IPP.
Kedua, pemerintah juga mewajibkan pengembang PLTS untuk mengedepankan tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang cenderung lebih mahal ketimbang produk impor, namun memiliki kualitas yang tidak mumpuni.
Ketiga, dan yang paling merugikan, pengembang PLTS dipaksa untuk menyamakan harga jual listriknya dengan harga listrik yang dihasilkan dari tenaga batu bara, yang jauh lebih efisien.
"Kesempatan pengembangan EBT tetap masih ada, namun niat politik pemerintah perlu dikedepankan untuk mengatasi masalah tersebut. Jika tidak, Indonesia akan menghadapi beban lingkungan, ekonomi, serta beban sosial," jelas Elrika.
Menjelang hasil sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Juni nanti, Jokowi bukan tak mungkin memikirkan sejumlah hal yang menjadi visinya, di antaranya sektor energi.
Temuan Irena hingga IEEFA soal energi terbarukan, bisa jadi ada di dalamnya.
[Gambas:Video CNN] (glh/asa)
from CNN Indonesia http://bit.ly/2wE0Rxd
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Energi Kotor, Jokowi dan Pilpres 2019"
Post a Comment