Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Syarif Hidayat mengatakan bahwa salah satu letak permasalahan yang didapati adalah reparasi onderdil pesawat yang dilakukan oleh asosiasi.
"Masalah mengenai membetulkan mesin. Jadi rupanya selama ini mereka repair keluar dengan ekspor biasa, kemudian balik lagi dari impor biasa, sehingga menjadi beban (pengeluaran) yang sangat berat," kata Syarief di Kantor DJBC, Jakarta, Senin (13/1).
Padahal, lanjut Syarief, pemerintah sendiri telah menyediakan fasilitas yang disebut dengan fasilitas perbaikan ke luar negeri. Menurut Syarief dengan menggunakan fasilitas tersebut, Inaca dapat mengurangi biaya dari sisi ekspor dan impor onderdil. Syarif menambahkan maskapai tidak perlu membayar pajak ekspor saat mengirim komponen mesin dan juga mengeluarkan biaya pajak impor saat komponen kembali lagi usai perbaikan. Maskapai hanya perlu membayar pajak dari tambahan komponen yang diperbaiki.
"Jadi, ekspor sementara, nanti kembali menjadi impor istilahnya. itu itu tidak dikenakan biaya yang banyak, hanya sekedar nilai tambah saja daripada perbaikan di luar negeri, dan juga larangan dan pembatasan menjadi tidak berlaku," ungkap Syarief.
Kendati demikian, Syarief mengatakan terdapat miskomunikasi antara Inaca dengan informasi fasilitas tersebut.
"Kelihatannya memang ada miss ya, mungkin teman-teman dari penerbangan, dari Inaca selama ini tidak memahami itu, padahal fasilitas itu sudah ada, sudah lama sekali," tuturnya.
Dalam menanggulangi permasalahan terkait larangan dan batasan yang berada di industri aviasi, Syarief mengatakan pihaknya siap untuk memberikan sosialisasi lebih lanjut mengenai ketentuan yang berhubungan dengan industri penerbangan, termasuk juga fasilitas yang disediakan."Kami juga bisa memberikan fasilitas untuk industri penerbangan ini, diantaranya adalah dengan memberikan izin gudang berikat atau pusat logistik berikat. Fasilitasi ini akan semakin menurunkan biaya logistik daripada asosiasi pengusaha penerbangan," tuturnya.
Sebelumnya, Inaca sendiri telah menyambangi Kantor DJBC untuk mendiskusikan terkait permintaan para maskapai soal kelonggaran impor onderdil pesawat.
Usai diskusi, Ketua Umum Inaca Denon Prawiraatmadja membeberkan informasi terkait pelarangan dan pembatasan (lartas) impor onderdil pesawat. Berdasarkan paparannya, terdapat 49 persen dari 10 ribu komponen spare part yang dibutuhkan industri penerbangan yang masuk dalam kategori barang lartas.
Akan tetapi, Denon mengungkapkan Ditjen Bea dan Cukai telah menyarankan maskapai dalam menggunakan fasilitas post border.Jika diimplementasikan, estimasi angka dari Ditjen Bea dan Cukai menunjukkan sekitar 28 persen barang yang masuk kategori lartas, yang bisa masuk ke gudang milik maskapai terlebih dahulu untuk disimpan. Sehingga tidak perlu tertahan di pelabuhan, dan mengeluarkan biaya lebih.
Perlu diketahui barang-barang lartas hanya boleh keluar pelabuhan apabila sederet surat dan perizinan sudah diurus. Dengan adanya postborder, barang bisa langsung dibawa ke gudang sambil diurus izinnya oleh maskapai.
"Saat ini masuk ke kategori lartas ada 49 persen. Nah sekarang ini ternyata bisa hanya sekitar 28 persen yang masuk ke kategori lartas. Di mana sebagian besar impor dari barang tersebut itu masuk ke dalam fasilitas post border," ujar Denon.
Lebih lanjut, Denon mengatakan bahwa peraturan lartas tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap komponen harga tiket pesawat.
"Ini memang nggak berpengaruh banyak ke komponen harga tiket, cuma memang mempengaruhi bisnis proses kita. Proses izin dan sebagainya terpangkas," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN] (ara/age)
from CNN Indonesia https://ift.tt/36UIX9K
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bea Cukai Ungkap Penyebab Masalah Impor Onderdil Pesawat"
Post a Comment