Dua lokasi yang dimaksud ialah Kecamatan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Sepaku Semoi di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Termasuk pula kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, yang berada di dua kecamatan tersebut.
Sebelum mengumumkan lokasi, sinyal bahwa Kaltim yang terpilihpun sudah tergambar dari berbagai hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) yang dipaparkan ke publik. Mulai dari kriteria lokasi, risiko kebencanaan, peta jalan pembangunan, hingga potensi ekonomi yang bisa didapat melalui pemindahan ibu kota.
Meski begitu, potensi terjadi penundaan pemindahan ibu kota, bahkan mangkrak atau gagal sejatinya tentu ada. Bahkan kemungkinan yang lebih buruk ialah ketika pemindahan ibu kota tidak mampu memenuhi ekspektasi loncatan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia.
Menteri PPN/Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan risiko molor, gagal, sampai mangkrak sudah diantisipasi dan tertuang dalam kajian yang selama dikerjakan pemerintah. Untuk memitigasi risiko itu, pemerintah juga memiliki beberapa jurus yang siap yang dilakukan.
Pertama, pemindahan ibu kota fokus dilakukan pada wilayah fasilitas pemerintahan. Dari jurus ini, pemerintah sebisa mungkin merancang peta jalan pembangunan yang sistematis, misalnya melihat infrastruktur apa yang sudah ada, yang masih perlu, hingga bagaimana akses dibangun.Kedua, membentuk undang-undang sebagai dasar hukum pemindahan ibu kota. "Ada dasar hukum UU dan pemindahan mulai paling lambat 2024. Pemindahan kan bisa bertahap, yang penting 2024 sudah bisa berfungsi awal sebagai pusat pemerintahan," ucap Bambang kepada CNNIndonesia.com, Senin (26/8).
Namun, menurut Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, mitigasi itu belum cukup, sehingga bayang-bayang kegagalan masih terbuka lebar. Pasalnya, pemerintah mengharapkan peran besar dari pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta dalam pembangunan megaproyek ini.
Terkait sisi pendanaan. Pemerintah menargetkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara tahun berjalan hanya sekitar Rp88 triliun sampai Rp93 triliun atau kurang dari 20 persen asumsi kebutuhan dana yang mencapai Rp466 triliun.
"Kajian pemerintah dana yang akan dikeluarkan dari APBN kurang dari Rp100 triliun, tapi hal-hal apa yang benar-benar menjamin bahwa uang itu bisa diberikan APBN? Bagaimana bila di tengah jalan, anggaran membengkak?" ujar Eko kepada CNNIndonesia.com.
Pemerintah juga tak mampu menjamin bahwa tak akan ada penyimpangan penggunaan dana, atau pembangunan tak akan molor dari waktu yang ditetapkan, meski dana sudah banyak mengalir. Menurutnya, hal-hal semacam ini tidak pernah dijawab oleh pemerintah melalui berbagai sosialisasi dan paparannya ke publik.Terlebih, sumber dana APBN untuk pemindahan ibu kota berasal dari hasil kerja sama pengelolaan aset berupa gedung-gedung kementerian/lembaga, Bukan APBN murni, seperti penerimaan pajak.
"Seberapa jauh opsi penyewaan gedung kementerian di DKI Jakarta akan mendatangkan uang besar yang cukup untuk bangun ibu kota? Toh, tingkat okupansi (keterisian) gedung kantor di Jakarta tidak pernah terpenuhi semua," tuturnya.
Ketika pemerintah ingin bersandar pada kontribusi swasta, Eko melihat tidak ada arah kebijakan yang sebenarnya mendukung pemunculan kontribusi itu.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah justru ingin 'tukar guling' aset pemerintah di DKI Jakarta dengan pembangunan di ibu kota baru, tanpa menawarkan insentif tertentu. Seharusnya, kata Eko, pemerintah bisa memberikan harga sewa yang relatif terjangkau, tapi mungkin hasilnya tidak serta merta besar untuk menutup kebutuhan pembangunan ibu kota baru.
Kemudian, bila ingin swasta tergugah, mau tidak mau pemerintah harus bisa juga menjamin ketersediaan lahan yang bisa digarap swasta. Sebab, mayoritas pengembang swasta tidak punya bank tanah (land bank) di Kalimantan.Belum lagi, biaya untuk melakukan pembangunan di Kalimantan relatif lebih mahal untuk megaproyek. Sebab, ada berbagai kesiapan dalam skala besar yang harus dihadirkan di kawasan calon ibu kota.
"Belum lagi kalau mereka nanti menghadapi kenaikan harga tanah, sebenarnya seperti apa langkah pemerintah hadapi spekulan selain menyebut sudah memiliki sejumlah lahan?" tuturnya.
Selama ini, kajian dampak ekonomi dari pemindahan ibu kota hanya bersifat makro, tidak riil. Misalnya terkait jumlah tenaga kerja yang bisa diserap oleh megaproyek tersebut.
Padahal, persoalan tenaga kerja rentan bersinggungan dengan kenyataan bahwa tingkat upah tenaga kerja yang cukup tinggi. Hal ini, katanya, bisa saja menjadi disinsentif bagi pihak swasta yang akan melakukan pembangunan di calon ibu kota baru.
![]() |
"Upah di Kalimantan cukup tinggi, cost pembiayaan tinggi, belum lagi kalau ada inflasi, swasta justru bisa tidak benar-benar untung ketika bangun ibu kota baru. Apalagi, pemerintah punya lahan, swasta belum tentu," ungkapnya.
Risiko kegagalan juga bisa berbentuk kawasan ibu kota terbangun, namun tidak memberikan dampak ekonomi seperti yang diharapkan. Risiko lain, bila ibu kota baru nyatanya bakal jadi kota sepi penghuni atau setidaknya tetap kalah dengan kota lama yang pernah menjadi ibu kota.
Toh, hal ini terjadi di beberapa negara yang pernah memindahkan ibu kotanya. Misalnya, ketika Brasil memindahkan pusat pemerintahannya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Meski, menurutnya, ada pemindahan ibu kota yang cukup berjalan baik, seperti pemindahan ibu kota Amerika Serikat ke Washington DC dan Malaysia ke Putrajaya misalnya.
"Masalahnya ada ketidaksinkronan, pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi, tapi bukan membentuk kawasan ekonomi, justru memindahkan pusat pemerintahan. Kalau ingin berharap pertumbuhan ekonomi, kenapa tidak langsung saja buat kota ekonomi," katanya.
Menurut Eko, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali dengan matang rencana pemindahan ibu kota ini. Toh, bila ingin lompatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi, rencana pembangunan kawasan metropolitan jauh lebih realistis ketimbang pindah ibu kota.
Senada, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga juga melihat ada risiko kegagalan dari sisi dampak yang diharapkan terhadap ekspektasi. Hal ini tercermin dari kajian pemerintah yang belum bisa mengungkap seberapa besar dampak ekonomi yang bisa tercipta dari pemindahan ibu kota baru bagi kota-kota di sekitar ibu kota baru dan Indonesia secara keseluruhan.Menurutnya, pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana kehadiran ibu kota baru di satu titik bisa menumbuhkan ekonomi merata di semua daerah di Indonesia?
Kajian pemerintah harus pula dilengkapi dengan antisipasi bila rencana ini gagal di tengah jalan hingga tidak 100 persen berhasil ketika sudah terlanjur dibangun. Ia mengambil contoh pemindahan ibu kota yang dilakukan Brasil dari Rio De Janeiro ke Brasilia. Toh, pusat kota pada akhirnya tetap ada di Rio.
"Ini contoh kegagalan yang paling parah dan patut dipertimbangkan," tuturnya.
Ia juga khawatir calon ibu kota baru di Indonesia akan senasib dengan Canberra, ibu kota baru Australia dan Putrajaya, pusat administrasi Malaysia. Sebab, pemindahan yang dilakukan kedua negara tetangga tidak serta merta membuat Canberra dan Putrajaya benar-benar diminati oleh masyarakat.
"Begitu akhir pekan ibarat 'kota mati' karena orang-orang yang kerja di sana, kembali ke daerahnya. Jadi tidak ada denyut kehidupan, hanya untuk pemerintahan saja," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Begitu pula dengan beberapa kota baru yang dibentuk oleh pemerintah China. Nyatanya, kota-kota tersebut hanya menjadi tempat kerja, tapi tidak membuat masyarakat benar-benar ingin tumbuh di sana. Sebab, tidak ada unsur kebudayaan yang berhasil menunjang sisi sosial. Padahal, syarat pembentukan kota sejatinya tidak cukup memiliki aspek geografis dan ekonomi, namun juga kebudayaan.
Dengan berbagai alasan tersebut, Nirwono menilai pemindahan ibu kota tidak perlu dilakukan. Justru, lebih baik pemerintah membenahi Jakarta saja, ibu kota yang sudah 'terlanjur' jadi, meski memiliki latar belakang pusat perdagangan dari pemerintahan Hindia Belanda.
Menurutnya, pembenahan Jakarta dan penciptaan titik ekonomi baru di daerah-daerah akan jauh lebih efektif dan terasa dampaknya. Toh, pemerintah sudah memetakan dan menjalankan pembangunan sistem transportasi terintegrasi di Jakarta, seperti MRT, LRT, Transjakarta, dan lainnya.
"Sudah ada rencana anggaran sampai Rp571 triliun sampai 2030 untuk membangun sistem tersebut, jadi fokus saja dulu," tekannya. (uli/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2L3JI6E
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Waspada Risiko Pembangunan Mangkrak di Ibu Kota Baru"
Post a Comment