Salah satunya adalah perusahaan teknologi finansial alias tekfin peer to peer (P2P) lending.
Secara resmi, industri ini memang menggeliat dengan mencatatkan kenaikan angka. Total rekening peminjam saja, misalnya sudah menyentuh 9.743.679 rekening per Juni 2019.
"Meskipun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup kegiatan fintech peer-to-peer lending tanpa izin OJK, tetapi tetap saja banyak aplikasi baru [fintech ilegal] yang muncul," kata Tongam pada Juli lalu.
Satgas sendiri menyatakan telah menemukan sebanyak 1.087 penyelenggara layanan pinjam-meminjam yang diduga ilegal sejak 2018.
Seperti aplikasi kebanyakan, tekfin yang diduga ilegal pun menggunakan teknologi untuk aktivitasnya. Mereka membutuhkan jaringan internet dan ponsel pintar.CNNIndonesia.com pun mencoba salah satu aplikasi tekfin P2P lending yang dinyatakan OJK tak berizin. Aplikasi itu salah satunya dapat diunduh melalui Playstore.
Untuk meminjam, pengguna harus menekan tombol 'ajukan' terlebih dahulu.
Calon peminjam wajib mengisi sejumlah data pribadi sebelum mendapatkan persetujuan dari pihak kreditur daring tersebut. Misalnya, nama lengkap, alamat rumah, surat elektronik, nomor ponsel, pekerjaan, alamat kantor, nomor telepon kantor, nomor rekening, hingga gaji.
Tak sampai di situ, calon peminjam juga wajib mencantumkan data pribadi dua orang terdekat yang bisa dihubungi dalam kondisi darurat.
Kolom yang harus diisi berupa nama lengkap, status dengan calon peminjam, dan nomor telepon dua orang tersebut. Setelah semua diisi, aplikasi itu akan meminta pengguna aplikasi untuk memotret Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mengetahui Nomor Induk Kependudukan (NIK).Terakhir, calon peminjam harus melakukan swafoto dengan KTP miliknya sendiri. Lalu, mengunggahnya sebagai data pelengkap.
Pengisian data pun selesai. Namun, calon peminjam perlu menunggu sekitar 10 menit-15 menit untuk mengajukan kredit.
Bila ingin menarik dana itu, calon debitur bisa menekan tombol 'pinjam'. Setelah itu akan keluar pilihan jumlah pinjaman dengan angka maksimal dan skema pembayaran.
Namun bunga yang ditawarkan relatif 'mencekik'. Untuk tenor satu bulan, total bunga yang dibayarkan sebesar 24,6 persen, tiga bulan 31,17 persen, dan enam bulan 36 persen.
![]() |
Mayoritas peminjam berada di DKI Jakarta dengan jumlah kredit sebesar Rp14,78 triliun, disusul Jawa Barat Rp11,38 triliun dan Jawa Timur Rp4,91 triliun.
Angka ini bisa jadi kian menggiurkan hingga menarik pelaku tekfin lain, termasuk yang diduga ilegal.
Tongam sendiri mengatakan pihaknya pun sudah meminta pihak Google untuk menutup akses pembuat aplikasi pinjaman jenis ini. Tapi tampaknya, jalan ini tak mudah.
"Mereka mengatakan hal itu sulit karena Google mendukung aplikasi dan sistem mereka open source," katanya.
Data Pribadi hingga Dimaki
Selain penolakan Google, masalah lain juga muncul.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan pihaknya mendapatkan 3.000 pengaduan dari warga yang menjadi korban pinjaman online (pinjol) per Februari lalu.Walaupun belum dirinci apakah pinjol itu yang telah terdaftar atau belum di OJK.
Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan pengaduan tersebut masuk terhitung sejak awal Januari 2018 sampai 4 Februari 2019.
"Pas November 2018 kan 1.330 aduan, lalu ditambah juga 283 orang. Kemudian Desember 2018 itu bertambah hampir 400 orang. Lalu sekarang sampai Februari ini bisa lah 3.000 orang," kata Jeanny beberapa waktu lalu.
Untuk masalahnya sendiri, hampir semua korban melaporkan mengenai pengambilan data pribadi. Sebab, hampir semua aplikasi diklaim memiliki akses untuk melihat data pribadi peminjam melalui ponselnya.
LBH Jakarta menyatakan modus pinjol lainnya adalah penagihan tak hanya kepada peminjam, namun seluruh kontak yang ada di ponsel si peminjam."Penagihan dilakukan dengan cara memaki," demikian keterangan resmi LBH Jakarta. "Mengancam, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual."
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengakui pinjaman macam ini bisa membahayakan masyarakat jika pemerintah tak gencar memberikan edukasi keuangan, terutama di kalangan bawah.
"Pemerintah perlu mengadakan edukasi terhadap masyarakat yang terjerat fintech dengan tawaran bunga yang mencekik leher," ucap Myrdal pada Rabu (14/8).
Selain itu, dia menilai kinerja Satgas Waspada Investasi dan OJK harus diperkuat dalam memberantas pinjol ilegal agar jumlah warga yang terjebak pinjol ilegal semakin minim.
"Apalagi perkembangannya pesat, jadi butuh pengawasan yang lebih ketat," katanya.Sementara itu, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede menyatakan keberadaan perusahaan tekfin ilegal membuat pelaku usaha yang resmi mengeluarkan dana lebih untuk bekerja sama dengan penyedia layanan e-KYC.
"Jadi kalau ngomongin persaingan dengan yang ilegal ini merugikan kami di biaya. Artinya mendapatkan peminjam yang berkualitas jadi lebih mahal," ucap Tumbur.
Masalahnya, perusahaan harus menyeleksi secara ketat pinjaman yang diajukan oleh calon debitur. Berbeda dengan perusahaan ilegal yang lebih mudah meloloskan pengajuan peminjam.
"Misalnya kalau fintech yang ilegal bisa saja dari 100 peminjam, 80 persennya diterima. Kalau kami mungkin 20 persen-30 persen saja. Kami harus menyeleksi untuk dapatkan peminjam yang berkualitas," katanya.
Seribu satu masalah ini bukan tak mungkin bikin Tongam dan Satgas Waspada Investasi OJK bekerja lebih keras. Apalagi dia harus berhadapan dengan teknologi baru.
"Walaupun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup kegiatan fintech tanpa izin OJK," kata dia awal Agustus lalu, "tetap saja banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore."
[Gambas:Video CNN] (aud/asa)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Z3HUnd
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Di Balik Uang 'Panas' Pinjaman Online Ilegal"
Post a Comment